All Chapters of SEJAK KAKAK PEREMPUANKU MENGINAP: Chapter 11 - Chapter 20
23 Chapters
BAB 11
Setelah pertengkaran dengan Mbak Nina, pikiran terus dihantui prasangka. Hati tak sabar menunggu Mas Adam pulang dan ingin segera menanyakan kebenaran tentang pengakuan kakakku. Pukul lima sore dua bocah sudah kumandikan. Aku duduk di teras menanti Mas Adam yang sedang pergi entah ke mana. Dia tak pamit. Sebuah mobil perlahan memasuki pekarangan rumah yang tak seberapa luas. Aku menatap lekat pada kendaraan itu, menduga-duga siapa yang datang. Pasalnya, aku ataupun Mas Adam tak memiliki banyak kenalan orang bermobil. Aku tersentak kaget saat pintu mobil terbuka. Seorang lelaki yang sedang kutunggu kepulangannya turun lalu berjalan ke arah rumah. Buru-buru aku bangkit dan menyambutnya. “Itu mobil siapa, Mas? Kenapa kamu memakainya?” tanyaku keheranan. Selama ini Mas Adam tak pernah membawa mobil ke rumah. Tentu saja hal ini menimbulkan tanya di benak.“Itu mobil Ervina. Mulai kemarin aku menjadi sopirnya,” sahutnya datar, nyaris tanpa ekspresi. “Ervina perempuan yang kamu tabrak
Read more
BAB 12
Mas Adam sudah sangat mengkhawatirkan. Sepertinya dia tak main-main dengan ucapan bernada ancaman itu. Terbukti sampai pagi menjelang, dia tak kunjung pulang. Sebagai perempuan yang ingin mempertahankan rumah tangga, tentu aku tak akan tinggal diam. Lekas kuhubungi Mas Daffa melalui telepon, dan untungnya dia mau mengangkat meski masih terbilang pagi. “Ada apa, Sil?” tanya suara dari seberang sana. “Ada yang ingin aku bicarakan, Mas! Bisa kita ketemu?” tanyaku balik. Dia tidak langsung menjawab, dan aku rasa tengah berpikir. “Bisa. Kapan dan di mana?” Kali ini gantian aku yang berpikir, sebab tak biasa bertemu di tempat tertentu. Untung saja teringat sebuah tempat ngopi saat motor mogok. “Di tempat kemarin. Waktunya terserah kamu saja, Mas!” “Ya udah sekarang saja. Aku langsung ke sana,” sanggupnya. Aku melongok jam digital di layar ponsel yang baru menunjukkan pukul sembilan lewat sedikit. Apa ini enggak terlalu pagi? Ah ..., tapi enggak apa-apa. Semakin cepat bertemu, sema
Read more
BAB 13
POV. ADAMSemula aku pikir rumah tanggaku akan baik-baik saja. Selalu diwarnai kebersamaan dalam suka ataupun duka. Namun, nyatanya prahara datang menguji. Kedatangan Mbak Nina ke rumah membuat semua berubah total. Sebagai lelaki, aku lelah dengan kebodohan yang selalu istriku lakukan. Tingkahnya berhasil menggerus rindu yang dulu selalu menggebu. Bahkan, kurasakan hubungan ini semakin hambar. Pertengkaran demi pertengkaran harus kami lewati setiap hari. Secuil masa lalu pun tak luput dipermasalahkan. Jika sudah begini, sampai kapan aku sanggup bertahan? Adalah Ervina. Gadis yang kakinya masih dalam proses penyembuhan itu menjadi satu-satunya tempat berbagi beban. Sesekali dia juga mengeluhkan permasalahan hidup yang pernah dialami. Kami semakin dekat hingga seakan tak ada jarak antara bos dan majikan. Pagi ini, dia meminta diantar ke taman. Ingin menikmati suasana baru katanya. Wajar sih, lebih dari seminggu dia hanya berbaring di rumah sakit. Selebihnya tinggal di rumah saja. “
Read more
BAB 14
Nyatanya, rumah tangga yang sudah lebih dari lima tahun kubina tengah berada di ujung tanduk. Meski keinginannya sudah kuturuti, Mas Adam masih saja dingin. Dia seperti menganggapku orang lain. Jika karena sibuk bekerja, aku masih maklum. Namun, apa daruratnya hingga dua malam berturut dia tak pulang? Tidur di mana dia? Apa di rumah Ervina?Aku sudah menanyakan perihal itu pada suami, tapi tak dijawab. Malah pergi lagi dan entah kapan akan pulang. Kuakui memang kusalah karena tak cepat tanggap saat Mbak Nina pertama datang ke rumah ini. Tapi apa dengan mendiamkan semua akan selesai? Tidak kan? Seharusnya dia mengerti karena aku sudah memberi alasan dan berulang kali minta maaf. Nyatanya, dia tak menggubris. Mendadak terdengar suara pintu yang diketuk. Dengan malas aku beranjak ke arah sumber suara tersebut dan membuka pintu. Seorang lelaki yang sama sekali tak kukenal berdiri mematung di depan pintu. “Apa benar Anda istri dari Adam?” tanya lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dia
Read more
BAB 15
Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.
Read more
BAB 16
Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit
Read more
BAB 17
Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka
Read more
BAB 18
Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A
Read more
BABA 19
  Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja.  Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja.  Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu.  “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?”  “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,”  “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe
Read more
bab 20
Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status