Nyatanya, rumah tangga yang sudah lebih dari lima tahun kubina tengah berada di ujung tanduk. Meski keinginannya sudah kuturuti, Mas Adam masih saja dingin. Dia seperti menganggapku orang lain. Jika karena sibuk bekerja, aku masih maklum. Namun, apa daruratnya hingga dua malam berturut dia tak pulang? Tidur di mana dia? Apa di rumah Ervina?Aku sudah menanyakan perihal itu pada suami, tapi tak dijawab. Malah pergi lagi dan entah kapan akan pulang. Kuakui memang kusalah karena tak cepat tanggap saat Mbak Nina pertama datang ke rumah ini. Tapi apa dengan mendiamkan semua akan selesai? Tidak kan? Seharusnya dia mengerti karena aku sudah memberi alasan dan berulang kali minta maaf. Nyatanya, dia tak menggubris. Mendadak terdengar suara pintu yang diketuk. Dengan malas aku beranjak ke arah sumber suara tersebut dan membuka pintu. Seorang lelaki yang sama sekali tak kukenal berdiri mematung di depan pintu. “Apa benar Anda istri dari Adam?” tanya lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dia
Sebagai sesama perempuan, aku merasa iba saat Mas Adam menceritakan mengenai perjalanan cinta Ervina. Namun, sebagai seorang istri aku tak mau ada yang dekat-dekat dengan suamiku. “Tapi bukan berarti dia harus terus menungguimu di sini kan? Ingat, Mas! Perselingkuhan itu berawal dari kedekatan yang berujung pengkhianatan!” ucapku mengingatkan. “Sil, Ervina hanya menganggapku kakak. Enggak lebih! Jadi kamu jangan terus curiga. Lagian dia kan majikanku. Jadi wajar jika datang menjenguk,” “Apa pun alasannya, aku enggak suka kamu dekat-dekat dengannya. Titik!” Mas Adam tak menyahut, tapi dari raut wajahnya aku membaca kalau dia keberatan. Kami saling diam, sementara dua bocah yang sedari tadi ikut bersama masih asyik bermain gadget. Tentu saja bergantian karena aku hanya memiliki satu ponsel. “Aku keluar sebentar, Mas! Titip mereka!” ucapku kemudian. “Mau ke mana?” tanyanya. “Keluar. Sebentar!” Tak mungkin jika kubilang aku akan menemui Ervina. Bisa dipastikan dia akan mencegah.
Aku menarik nafas lega setelah tim dokter mengatakan jika Mas Adam sudah diperbolehkan pulang. Selain letih karena harus tiap hari bolak-balik ke rumah sakit, aku juga segan dengan tetangga yang kutitipi dua bocahku. “Sebentar ya, Mas! Aku urus administrasi dulu,” pamitku pada Mas Adam. Aku berjalan keluar menuju kasir. Langsung menanyakan biaya yang harus kubayar selama Mas Adam dirawat. “Maaf, Bu! Pasien atas nama Adam sudah lunas semua,” sahut seorang perempuan yang duduk di depan meja. Kontan saja aku terperanjat. Bagaimana mungkin sudah lunas sedangkan aku belum membayar? Atau, jangan-jangan Mas Adam yang membayar sendiri? Ah ... kayaknya enggak mungkin. “Maaf, kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya?” tanyaku penasaran. “Kurang tahu, Bu! Tapi seingatku orang yang mengantar ke sini,” jawab perempuan itu. Pikiran langsung tertuju pada sosok Ervina. Ya. Dia orang yang mengabariku kalau Mas Adam masuk rumah sakit. Lancang sekali dia berani berbuat begitu tanpa memberit
Terjaga saat fajar subuh tiba, aku langsung membangunkan Mas Adam untuk kami segera menjalankan kewajiban sebagai makhluk. Lalu, aku beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk suami. “Ngopi, Mas!” Kuletakkan secangkir minuman di meja depan Mas Adam. Dia tersenyum. “Makasih, Sil.” Aku bersyukur karena pada akhirnya Mbak Nina pergi dan rumah tangga kami terselamatkan. Namun, masalah kembali muncul karena saat ini Mas Adam tak bisa bekerja. Teringat soal pekerjaan, aku kembali ke kamar, menyambat ponsel lalu membawa ke dapur. Sembari memasak aku menghubungi Mas Daffa, mantan kakak iparku. “Pagi, Mas!” sapaku setelah panggilan terhubung. “Pagi juga. Tumben nelpon, Sil. Ada apa?” tanya suara bariton dari seberang sana. “Apa tawaran soal pekerjaan masih berlaku, Mas? Aku butuh,” ucapku langsung pada poinnya. “Tentu saja. Kamu bisa berangkat hari ini juga. Nanti aku kirim alamatnya,” sahut lelaki di seberang sana. “Apa enggak bisa besok-besok, Mas?” tanyaku. Mendadak bekerja tentu aka
Aku terus meyakinkan Mas Adam bahwa semua yang kulakukan adalah demi kebaikan bersama. Aku juga berjanji tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang istri. Hingga akhirnya suami luluh dan mengizinkan tetap bekerja, meski dengan segala keterpaksaan. Sebelum berangkat, aku selalu menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Untuk urusan cuci mencuci, itu kulakukan saat pulang kerja. Semua pekerjaan rumah tetap kukerjakan seperti biasa, kecuali menjaga anak-anak. “Mas, aku berangkat dulu ya. Kamu jaga anak-anak,” pamitku seusai kami sarapan. “Apa kamu enggak bisa libur barang sehari, Sil? Kasihan Raka. Dia selalu menanyakanmu.” Lelaki itu menatap penuh harap. Aku tersenyum kecut. Belum genap seminggu bekerja, mana mungkin aku berani libur. Bahkan aku belum menanyakan berapa gajiku tiap bulannya. Aku hanya bekerja dengan keyakinan bahwa tak mungkin Mas Daffa membayar sembarangan. “Nanti aku tanyakan. Semoga setiap minggunya ada libur biar kita bisa bareng-bareng menjaga anak-anak.” A
Sama sekali tak berharap Mas Adam mendewakan, atau menganggapku pahlawan karena menjadi tumpuan perekonomian. Aku hanya menginginkan dia mengerti bahwa setiap pekerjaan memiliki konsekuensi tersendiri. Yang kumau dia tak terus menaruh curiga dan berburuk sangka. Itu saja. Namun, pada kenyataannya hampir setiap pulang kerja dia selalu menungguku di halaman, bersiap memberondong dengan banyak pertanyaan enggak penting. Lebih tepatnya, menginterogasi apa yang kulakukan di tempat kerja. Tentu saja hal itu membuat hati lelah. Bahkan akhir-akhir ini hubungan kami terasa semakin renggang. Seolah kehilangan chemistry seperti yang dulu. “Bisa enggak sih, Mas kalau aku pulang kerja enggak usah nanya yang macam-macam?” “Aku suamimu, Sil! Jadi aku berhak tahu aktivitasmu,” “Iya. Aku mengerti. Tapi tolong ... jangan terus-terusan begini. Kamu sudah memperlakukan aku sepe
Sejak tadi aku tak henti mondar-mandir di teras. Sesekali melongok pada jam di dinding, di lain kesempatan menatap jalanan. Entah kenapa pikiran begitu mengkhawatirkan Sila, padahal memang belum waktunya pulang. Mendadak hati berdebar tanpa alasan yang jelas. Seperti ada yang mengganjal di dalam pikiran, meski tak tahu penyebabnya. Ada apa ini? Benar, akhir-akhir ini hubungan kami memang kurang harmonis. Namun, bukan berarti aku tak mengkhawatirkannya. Biar bagaimanapun dia Ibu dari anakku. Aku baru bernafas lega saat melihat Sila mengendarai motor memasuki pekarangan. Lekas aku menyambut perempuan yang sejak tadi kutunggu. Satu hal yang membuatku bingung adalah mendung di wajah cantiknya. Dia terlihat muram, padahal biasa selalu ceria saat pulang kerja. “Kamu kenapa, Sil? Kok merengut begitu?” tanyaku penuh selidik. “Enggak apa-apa kok. Capek saja!” sahutnya datar. Lalu, dia langsung menerobos masuk tanpa memedulikan aku. Sesaat aku terpaku di teras. Sikap yang Sila tunjukkan b
Sama sekali mata ini belum terpejam meski jam di dinding kamar telah menunjukkan pukul dua lebih. Bayang-bayang kejadian saat di rumah Mas Daffa tadi siang terus mengganggu pikiran. Aku sadar telah melakukan kesalahan besar, tapi entah kenapa seolah tak menyesal. Seharusnya aku marah pada Mas Daffa. Nyatanya malah tersenyum jika teringat wajahnya. “Astaghfirulloh ....” Aku menggumam lirih sambil menyapu wajah kasar. Kemudian bangkit dan duduk di tepian ranjang.Menoleh pada lelaki yang tergolek di sisi ranjang, mendadak rasa bersalah itu muncul, mendera hati. Terlepas dari sengaja atau tidak, apa yang kulakukan merupakan sebuah pengkhianatan. “Tidak! Ini tak boleh terjadi lagi!” Batin bergolak riuh. Tak sepantasnya kukhianati lelaki yang selama ini setia menemani. Meski sempat cemburu saat Mas Adam dekat dengan Ervina, tapi pada akhirnya dia menurut dan tak berhubungan lagi dengan perempuan itu. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Kubulatkan tekad untuk berh