All Chapters of Buncitnya Jenazah Kakakku: Chapter 11 - Chapter 20
112 Chapters
Bab 11: Saatnya Balas Dendam
Setelah mengucapkan hal tersebut, pria berambut putih itu, pergi begitu saja. Meninggalkan aku dengan berbagai pertanyaan di kepala. Gegas aku mencekal tangan pria tua itu. "Maksud Bapak, apa, yah?" Alisku bertaut. Mata tuanya itu menatapku dalam, seakan-akan mengasihani diri ini. "Di dalam rum---"'Beep!'Suara klakson mobil, membuat perkataan bapak pemulung itu terpotong. Aku berbalik, melihat si penimbul suara. Terlihat tuan dan nyonya rumah besar ini, bersiap-siap keluar rumah setelah pintu gerbang di buka lebar-lebar oleh satpam. Aku hanya menatap diam mobil sedan berwarna putih itu melaju menjauh. "Oh, iya, Pak, ada apa dengan rumah it---"Ketika berbalik, menanyai bapak pemulung tadi. Namun, ia sudah tidak ada. Pergi entah ke mana. "Siapa orang tua tadi? Tahu apa dia tentang orang-orang rumah ini? Kenapa dia menyuruhku berhati-hati?" Pikiranku kembali dipenuhi tanda tanya.
Read more
Bab 12: Hukuman dari Zhafran ll
Lewat ekor mata, aku melihat Zhafran terhenti di ambang pintu. Aku tetap melanjutkan salat, tanpa peduli dengan kehadirannya. Ya, rencanaku ialah, ketika Zhafran marah dengan apa yang kulakukan, aku akan berpura-pura salat. Ralat, aku memang belum melaksanakan salat isya malam ini. Berharap ketika melihatku salat, Zhafran tidak jadi menghukumku. "Sial!" Zhafran memukul pintu hingga berdentam. Napasku tertahan di tenggorokan, merasa terkejut dengan suara yang timbul. Namun, tetap berpura-pura fokus dengan gerakan salat-ku. Zhafran belum juga pergi dari ambang pintu, sedangkan gerakan salatku sudah masuk rakaat kedua. Aku sengaja berlama-lama membaca bacaan, agar salatku lebih lama selesainya. Setidaknya, sampai Zhafran lelah berdiri di ambang pintu kamarku dan amarahnya mulai padam. Bi Inah tidak terlihat ikutan datang kemari. Entah dia tidak mau ikut campur dalam masalah ini atau dia takut untuk ikut campur. Ya, sadar, kali ini aku y
Read more
Bab 13: di Kamar Berdua
Seluruh tubuhku tenggelam. Tanganku meraih-raih, sedangkan kaki menendang-nendang, berusaha mencari pijakan. Aku meneguk dan menghirup air dalam jumlah yang besar. Membuat dada terasa sesak, hidungku pun perih. "Tol-looong ...!" Aku berusaha berteriak. Berharap ada yang datang menyelamatkanku. Perlahan pandangan mulai memburam, lalu aku kehilangan kesadaran. "Bangun!"Samar-samar terdengar suara pria berseru, pipi ini ditepuknya. Ingin membuka mata, tetapi rasanya begitu berat. Aku juga merasa tubuh ini sangat lemas. Terasa juga ada seseorang yang menekan dadaku. Lantas, orang tersebut mengatur kepalaku, mengangkat dagu dan memencet hidungku. Perlahan, aku membuka kelopak mata. Samar-samar terlihat wajah pemuda berandalan itu datang mendekat ke wajahku. Bahkan, bibirnya sudah menyentuh bibirku. Mataku membulat sempurna melihat perlakuannya yang kurang ajar itu. Aku terbatuk mengeluarkan air dari mulut. Dengan marah, aku mend
Read more
Bab 14: Barang Bukti si Pelaku
Mendengarku bertanya, Zhafran sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyadari, jika aku juga menyimak dan mendengar suaranya yang pelan tadi. Dia menatapku sekilas. Aku lihat, pandangannya seperti sedikit mengasihaniku. Namun kenapa? Atau mungkin aku yang salah tanggap? "Hantu. Di kolam renang sana, ada penunggunya." Zhafran menjawab malas. Lantas, pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan penuh tanda tanya. Aku tahu, Zhafran hanya menjawab asal pertanyaanku tadi. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya, tetapi apa? Selepas kepergian Zhafran dari kamar ini, aku berusaha berdiri mengambil pakaian di dalam koper. Sudah beberapa hari aku di kota. Namun, belum memindahkan pakaianku ke lemari. Selain malas, lemarinya juga dikunci. Aku belum melihat barang-barang peninggalan Kak Naila di dalam sana. Aku lupa menanyakan kunci lemari itu pada Bi Inah. "Apa benar yang mendorongku tadi hantu?" gumamku sambil memakai sweater hijau. Aku meng
Read more
Bab 15: Ibarat Gigitan Harimau
Aku menatap lekat Bryan, lalu beralih memandang sapu tangan maroon saling bergantian. 'Apa Bryan yang mendorongku semalam?' batinku bertanya-tanya. Aku mundur beberapa langkah, memandang kedua saudara itu saling bergantian dengan mata berembun. Tiba-tiba kepalaku kembali memberat dan pusing. Lantas, kegelapan datang menelanku. ****Perlahan kubuka kelopak mata, mengedarkan pandangan. Sebuah ruangan asing yang bernuansa putih. Aku mengerjap berkali-kali, merasakan kelopak mata begitu panas. Tubuhku begitu lemas, perut juga terasa perih, belum terisi makanan. "Lo udah sadar?" Terdengar suara Zhafran bertanya. Dia baru saja datang sambil membawa kantung kresek putih. Zhafran duduk di samping ranjangku seraya meletakkan kantung. Dia mengeluarkan beberapa buah dari dalam kantung."Lo sukanya buah apa?" Zhafran memperlihatkan buah apel dan jeruk di kedua tangannya. Aku hanya diam, memandangnya lem
Read more
Bab 16: Diserang Sosok Ber-Hoodie
To-tol ... looong!"Mata pisau itu sudah berada tepat di depan mataku. Jantung berdegup kencang, napasku tercekat. Aku sangat ketakutan. 'Tolong Nilfan, Ya Allah!' pekikku dalam hati. Mata pisau itu terus maju. Tenagaku begitu lemah, tidak mampu lagi untuk menahannya lebih lama. Tiba-tiba saja, sosok ber-hoodie hitam itu terempas ke kiri. Zhafran datang, dia langsung menendangnya. Aku bernapas lega seraya bangun dari ranjang. Syukurlah. "Siapa lo?!"Sosok ber-hoodie tidak menjawab, dia malah mengacungkan senjata tajam. Aku memperhatikan sosok ber-hoodie yang memakai masker hitam itu. Dia menatap Zhafran waspada seraya mengambil ancang-ancang menyerang. 'Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku?'Sosok ber-hoodie maju, melayangkan pisaunya ke leher Zhafran. Gegas Zhafran menarik kepalanya ke belakang. Sosok ber-hoodie susul melayangkan pisau ke perut Zhafran. Untung saja Zhafran sigap menarik p
Read more
Bab 17: Naila Pembunuh?
"Pokoknya, Papah ingin kamu hukum seberat-beratnya Bima ini, Bry!" Mata Tuan Besar memerah, menatap nyalang ke sosok ber-hoodie semalam. 'Jadi, nama dia Bima. Apa sapu tangan itu miliknya? Apa dia yang sudah mendorongku ke kolam? Kenapa dia mau membunuh saya?' batinku bertanya-tanya seraya menatap tajam pria yang bernama Bima itu.Melihat kami yang barusan datang, membuat ketiga pria beda usia itu serempak mengalihkan pandangan. Bryan memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala. Aku perhatikan, tatapan Bryan begitu intens. Tidak lama kemudian, dia membuang pandangan. "Lo? Masih ada muka lo kemari!"Zhafran yang melihat Bima langsung menyerangnya. Melayangkan pukuluan beruntun ke wajah Bima. "Kenapa lo pengen bunuh Nilfan? Siapa yang udah nyuruh lo?" Zhafran terus memukul Bima, sedangkan Bima hanya pasrah tanpa perlawanan. Bima terjatuh, Zhafran lanjut menendang-nendang perutnya. Membuat Bima mengerang keras seraya
Read more
Bab 18: Zhafran Pria Kurang Ajar
"Apa yang pengen lo tau? Hmm ...." Zhafran kembali berujar dengan berat. Dia menangkup sebelah pipiku. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan tingkah Zhafran. Apalagi berada di dalam sebuah kamar dan sedekat ini. Aku membuka mata, menatap wajah Zhafran yang hidungnya sedikit lagi akan menempel dengan hidungku. Aku menarik kepala ke belakang. Namun, Zhafran menahan tengkukku. Membuat kening kami kembali menempel. Aku makin gelisah dibuatnya. Takut Zhafran bertindak kurang ajar. "Lo mau tau apa tentang Naila? Gue mau ngasi lo info, asal ada bayarannya ...." Zhafran tersenyum smirk dengan tatapan nanar seraya mendekatkan bibirnya. Aku berusaha melepaskan cekalannya seraya menarik kepalaku menjauh, tetapi Zhafran terus menahan tengkukku. Aku kalap, benar-benar emosi dengan perlakuan Zhafran. Sebelum dia melakukan hal yang tidak diingankan, gegas aku mengangkat kaki, mendengkul bagian tengahnya. "Ouhh!" Zhafran melenguh keras samb
Read more
Bab 19: Keterangan Bi Inah
"Siapa yang sudah menghamili Kak Naila, Bi?" Aku bertanya lagi. Tatapan tajam kulemparkan kepada Bi Inah yang mulai terlihat salah tingkah. Melirik kanan kiri dengan ekspresi khawatir juga takut. 'Kenapa reaksi Bi Inah seperti itu?' batinku mulai mencurigai tingkah Bi Inah yang terlihat aneh. "Bi?" panggilku yang langsung membuat pandanganya terhenti menatapku, "siapa, Bi?" lanjutku bertanya dengan penuh penekanan. "Bibi, 'kan, sudah bilang kalau kematian Naila itu karena kecelakaan. Dan soal Naila hamil? Kamu ngada-ngada saja, Nil! Naila sama sekali enggak hamil!"Bi Inah berucap setengah berteriak. Dia menepis tanganku, lelu mengayunkan kaki menjauh. Aku gegas mengejarnya, mencekal kembali tangan yang sedikit kurus itu. "Saat Nilfan memandikan jenazah Kak Naila, Nilfan lihat perut Kak Naila membuncit. Perkiraan hamilnya itu sudah memasuki bulan kelima atau enam. Para pelayat juga menyadari hal itu, membuat mereka
Read more
Bab 20: Memeriksa Kamar Bryan
Aku menyusuri setiap sisi arae kolam yang luas itu. Namun, barang yang kucari sudah tidak ada di tempatnya. Tidak ada apa-apa, selain bangku panjang dan meja bundar di samping sana. "Ke mana sapu tangan itu?" gumamku mengedarkan pandangan ke seluruh area kolam."Siapa orang itu? Kenapa dia ingin membunuhku? Benarkah orang itu Bryan?" Aku mengingat-ingat seseorang yang mendorongku kemarin malam. Pandanganku terhenti di balik tanaman bunga bugenvil. Ada seorang pria tua bertumbuh tambun sedang menatapku dengan mata memerah di sana. Pak Aji. Dia memandangku penuh ketidaksukaan. Aku hanya memandangnya dalam diam, bingung harus apa. Pria tua itu pasti sekarang terpukul atas kejadian yang menimpa anaknya. "Permisi, Pak." Aku mengangguk sopan. Namun, dia tetap pandangan tajamnya. Pasti dia sangat marah denganku karena sudah menjadi penyebab putra satu-satunya mendekam di penjara. Aku melangkah menuju ke kamar. Namun, ketika ba
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status