All Chapters of OUCH IT'S YOU: Chapter 11 - Chapter 20
25 Chapters
[ 11 ]
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Read more
[ 12 ]
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi
Read more
[ 13 ]
Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran. Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya.Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya.Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi tidak mematikan mesinnya.Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku."Nat..""Udah malem Gi. Aku capek banget.""Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi."Aku berbalik menatapnya. Nggak paham."Jangan gitu lagi apa?""Ke tempat kaya gitu, apa lagi s
Read more
[ 14 ]
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini. Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya. Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini. Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin. Ini Hyacinth, Nata. Yang ungu melambangkan kesedihan, dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya n
Read more
[ 15 ]
Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku
Read more
[ 16 ]
Aku menarik nafas yang dalam sebelum membuangnya dihadapan kedua mata Ben. “Ben, aku segitu bodohnya ya di mata kamu?” “Nata, please ngomong pakai hati kamu. Jangan pakai emosi.” “Hati? Jadi kamu pikir kamu cukup tahu hati aku seperti apa?” Dia mencoba menjangkau tanganku. Kutepis. Sambil melihat ke sekeliling. Takut gerakan kami berdua terlalu mencolok dan menarik perhatian orang-orang. Lagi. “Nata, aku tahu kita bisa ngobrol dengan tenang. Nggak pakai emosi.” “Kamu yang bisa. Aku nggak. Ben, apapun itu, tolong nggak sekarang.” Aku memohon. Menatap matanya lebih dari lima detikpun aku belum mampu. Apa lagi dibujuk-bujuk. Nggak bisa. “Apa yang nggak sekarang?” “Ini. Apapun ini. Jangan sekarang.” “Nggak. Ini harus sekarang.” Ngototnya. “Ben, kayaknya tenaga dan mental aku belom pulih deh dari semua kegilaan kamu kemaren. Kamu tahu nggak rasanya kayak apa? Kaya naik Roller Coaster. Terlalu cepat sampai aku mual.” “Aku tahu, makanya aku di sini. Untuk minta maaf, untuk jelasin
Read more
[ 17 ]
Mas Rumi mendahuluiku. Dia melarangku berdiri. Menyuruhku tetap duduk di kursi. Sedang Gugi menatapnya serius. “Masih berani lu nyari Nata? Kurang ungu pipi lu kemarin?” Ucap Mas Rumi mendekati Gugi. “Ru, gue nyari Nata. Bukan lu.” “Nggak gue ngizinin. Lu kalau mau bikin stres cewek, cari yang lain. Jangan temen gue!” Aku yang nggak tahan mendengar keributan mereka di tengah teman kerjaku yang lain, mencoba melerai. “Kamu duduk,” titahku menunjuk Mas Rumi, “kamu, pulang!” lalu menunjuk Gugi. “Oke, sama kamu. Ayo.” Ucapnya menarik pergelangan tanganku. Usahanya dihentikan Mas Rumi yang langsung melepaskan genggaman Gugi dengan menepaknya keras. Dan berhasil. “Udah gue bilang, gue nggak ngasih izin! Lu yang ikut gue sekarang!” Selanjutnya, mereka berdua meninggalkan ruangan. Entah kemana. Entah bahas apa. * [ Rumi’s POV ] “Percaya omongan gue, lu nggak bakal mau lihat gue naik pitam Gi!” Ucapku ngasih peringatan ke orang yang baruku kenal setahun belakangan itu. Orang yang d
Read more
[ 18 ]
Aku pernah nggak sih cerita ke kalian soal gimana aku cinta sama kerjaan yang sedang kugeluti sekarang? Belom? Yaudah baca ya.Seperti yang udah kalian tahu, aku lulusan Fakultas Kedokteran dari salah satu universitas swasta di Jakarta. S.Ked ku berhasil kusandang setelah kuliah empat tahun penuh. Nilaiku bagus walaupun nggak Cumlaude. Si Oswasa dan Shimar istrinya juga cukup bangga sama pencapaianku saat itu. Termasuk si Gestara Soebandono. Masku satu-satunya.So, long story short, aku mutusin buat nggak ngelanjutin ke program profesi. Kenapa? Kan rugi banget. Kan ini. Kan itu. Aku tahu. Tapi demi kewarasanku, kita cukupin aja di S.Ked itu. Gimana respon orang tuaku yang udah ngeluarin duit banyak? Marahkah? Proteskah? Oh jelas. Tapi kujanjiin kalau anaknya nggak bakal nganggur lama.Eh malah beneran kejadian. Karena keseringan bergaul dengan temen-temenku yang kebetulan bergelut di bidang kreatif, aku akhirnya dikenalin sama satu bidang yang namanya Post Production Coordinator. Dita
Read more
[ 19 ]
Yang dikatakan Mas Rumi seperti angin segar di kupingku. Sejuk, sampai kesadaranku kembali. Aku diusahan oleh seseorang yang memiliki tunangan. Kenyataan manis yang kupikir nggak diinginkan wanita manapun. Seketika bayangan Gugi tersedu-sedu di depan pintuku menjadi bayangan yang menyeramkan. Fakta bahwa pemandangan itu membangkitkan kembali satu rasa di hatiku yang sudah mati-matian kukubur, membuatku takut. Takut aku terlalu lemah, lalu kalah, lalu membiarkan perasaan mengendalikan pilihanku, lalu merusak sesuatu yang sudah utuh, lalu apa? Bukannya kita semua sepakat, merusak kebahagiaan perempuan lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan? Tapi seperti yang biasa kehidupan lakukan pada kita semua, apapun keputusan yang kita pilih akan sesuatu, kepala kita bakal ditimpukin semua logika-logika setan untuk menggoyahkan. Kali ini contohnya adalah, kenapa harus menjauh? Bukankah Gugi yang memilih untuk mendekatiku lebih dulu? Bukankah Gugi yang begitu menginginkanku hingga menar
Read more
[ 20 ]
Lima menit. Sudah lima menit kami menelusuri jalanan kecil di sekitar hotel. Mencari tempat ngobrol tanpa khawatir dikupingin teman kerjaku. Nggak jauh dari sini, seingatku ada mall. Mari berdoa ingatanku nggak salah. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya ngobrol seadanya. Sesekali saling menangkap basah karena menatap diam-diam. Aku masih nggak habis pikir pria ini berhasil menemukanku. Setelah berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, kami sampai di mall itu. Kalian tahu apa? ITU LIMA BELAS MENIT TERLAMA. Syukurnya mallnya beneran ada disitu. Padahal cuma modal ingatanku yang, yaelah. Percaya dirinya tinggi banget pula nggak ngecek maps. Kami memasuki salah satu Coffee Shop. Memesan dua gelas minuman. Aku ice coffee latte, sedang Ben memilih milkshake. Strawberry. Kalian tahu gimana ekspresiku ketika dia mesan itu? Gemmmmmmmes. Pernah nggak kalian lihat Mas-Mas minum milkshake strawberry? Sebelum duduk, dia menarikkan satu kursi untukku. Kami memilih outdoor. Di dalam pen
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status