Yang dikatakan Mas Rumi seperti angin segar di kupingku. Sejuk, sampai kesadaranku kembali. Aku diusahan oleh seseorang yang memiliki tunangan. Kenyataan manis yang kupikir nggak diinginkan wanita manapun. Seketika bayangan Gugi tersedu-sedu di depan pintuku menjadi bayangan yang menyeramkan. Fakta bahwa pemandangan itu membangkitkan kembali satu rasa di hatiku yang sudah mati-matian kukubur, membuatku takut. Takut aku terlalu lemah, lalu kalah, lalu membiarkan perasaan mengendalikan pilihanku, lalu merusak sesuatu yang sudah utuh, lalu apa? Bukannya kita semua sepakat, merusak kebahagiaan perempuan lain dengan sengaja adalah suatu ketidakperluan? Tapi seperti yang biasa kehidupan lakukan pada kita semua, apapun keputusan yang kita pilih akan sesuatu, kepala kita bakal ditimpukin semua logika-logika setan untuk menggoyahkan. Kali ini contohnya adalah, kenapa harus menjauh? Bukankah Gugi yang memilih untuk mendekatiku lebih dulu? Bukankah Gugi yang begitu menginginkanku hingga menar
Lima menit. Sudah lima menit kami menelusuri jalanan kecil di sekitar hotel. Mencari tempat ngobrol tanpa khawatir dikupingin teman kerjaku. Nggak jauh dari sini, seingatku ada mall. Mari berdoa ingatanku nggak salah. Sepanjang perjalanan, kami berdua hanya ngobrol seadanya. Sesekali saling menangkap basah karena menatap diam-diam. Aku masih nggak habis pikir pria ini berhasil menemukanku. Setelah berjalan sekitar kurang lebih lima belas menit, kami sampai di mall itu. Kalian tahu apa? ITU LIMA BELAS MENIT TERLAMA. Syukurnya mallnya beneran ada disitu. Padahal cuma modal ingatanku yang, yaelah. Percaya dirinya tinggi banget pula nggak ngecek maps. Kami memasuki salah satu Coffee Shop. Memesan dua gelas minuman. Aku ice coffee latte, sedang Ben memilih milkshake. Strawberry. Kalian tahu gimana ekspresiku ketika dia mesan itu? Gemmmmmmmes. Pernah nggak kalian lihat Mas-Mas minum milkshake strawberry? Sebelum duduk, dia menarikkan satu kursi untukku. Kami memilih outdoor. Di dalam pen
Mendengar kalimat Ben barusan, walaupun sempat terkesiap, aku reflek menepak bahu kirinya yang dia balas dengan kekehan. Ngelunjak ni anak. Setelah makan malam, dia mengantarku kembali ke hotel. Aku nggak nanya dia bakal balik kapan atau mau tidur dimana. Belajar untuk nggak terlalu mau tahu banyak, semoga bisa ngurangin resiko dikecewain lagi pas udah nyaman-nyamannya. Mari berdoa. “Dari mana aja kamu?” Mas Rumi yang entah udah sejak kapan berada di kamarku, menodong dengan pertanyaan orang tuanya. “Ngopi. Makan.” “Sama siapa?” “Orang?” “Oh ayolah Nat!” “Ya lagian ngapain nanya sih kalau kamu udah tahu jawabannya apa?” “Kok dia bisa nyampe sini?” “Pesawat Mas.” Ucapku seadanya, yang kemudian kena jewer. Jadi aku nggak punya pilihan selain ceritain semuanya. Eh nggak deh. Secukupnya. Mereka mendengarku dengan ekspresif. Mas Ru dan Mbak Nana. Bingung juga kok rasanya masalah pribadiku sekarang udah jadi konsumsi kantor gini. “Gue sih tim Ben ya di kasus ini.” Seru wanita yang
Aku melihat keluarga itu reunian. Saling peluk. Aku dan Ben mundur selangkah memberi ruang untuk mereka. “Hay Ben. Loh Mbak Nata? Kok kalian bareng? Kenal?” Tanya wanita yang sedang rangkulan dengan Tante Sarah tadi. Mamanya Gugi ternyata. “Hey Tar. Loh kamu kenal Nata?” “Kenal dong. Pernah ketemu. Yakan Mbak?” Aku cuma tersenyum sambil mengangkat tangan kananku. Melambai kecil pada gadis itu. “Hey, man.” Ben menyapa sepupunya itu tanpa maju sedikitpun. “Ben,” sambut Gugi menatap Ben, lalu menatapku, sebelum menatap pinggangku yang tengah dirangkul erat oleh Ben. Aku merasa seketika udara di sekitar kami nggak ada oksigennya. Karbondioksida semua. “Yaudah kalau gitu kita berdua pamit duluan ya Tant, Om. Aku harus nganter Jenata dulu soalnya.” “Loh naik apa? Nggak mau bareng aja? Cukup kok mobil Gugi. Cukupkan nak?” Gugi nggak menjawab. Hanya mengangguk. “Ben ada nyimpen mobil kok Tant di parkiran. Aman.” “Oh gitu. Yaudah kamu hati-hati nyetirnya. Jangan sampai anak orang ken
Dari semua benda tajam yang pernah melukaiku, kurasa tatapan Gugi salah satu yang paling menyakitkan. Melihatnya menatapku seperti sekarang, aku bisa melihat jutaan emosi dan kecewa di sana. Sedang yang bisa kulakukan hanyalah menambah kekesalannya. Tidak mengurangi. Tidak pula menenangkan. “Nat,” “Hm?” Aku memperhatikan tiap geriknya saat mencoba meraih tangan kananku untuk kemudian dia genggam. “Kasih aku waktu ya,” bisiknya lirih nyaris nggak terdengar. “Gi, ini nggak sesulit itu kok. Kita pernah lakuin ini sebelumyakan? Saling menjauh untuk ngehindarin apapun yang bisa merusak. Dan berhasil. Kita cuma perlu ngelakuin itu sekali lagi.” “Ini yang kamu bilang berhasil?” tanyanya mengangkat tanganku yang entah sejak kapan sudah membalas genggamannya. “Ini namanya sisa-sisa ego Gi. Bakal habis nggak bersisa. Cuma masalah waktu.” Gugi melepaskan tanganku. Sedikit dengan kekuatan hingga terasa dilempar. Aku cuma bisa tersenyum kecut. Ada kecewa saat itu terjadi. “Aku pikir perasaa
Aku bangun dengan keadaan yang, sebut saja berantakan. Rambutku yang awut-awutan, mataku yang bengkak, dan badanku yang terasa lemas. Ternyata nyakitin orang itu semelelahkan ini ya? Kok banyak yang doyan ngelakuin itu? Aku berjalan keluar kamar, menuju balkon. Menyibakkan tirai berwarna abu tua yang juga belum pernah kucuci sejak kubeli setahun lalu. Pandanganku jauh melihat langit di luar. Pagi ini mendungnya enak. Setelah beres mengamati cuaca Jakarta, aku berjalan ke arah westafel. Mencuci mukaku, sebelum mengambil dan meneguk segelas air putih. Mataku menangkap gelas yang digunakan Gugi tadi malam. Belum kucuci. Masih bertengger manis di meja depanku, sedang orangnya sudah pergi. Sudah benci. Saat sibuk dengan isi kepala, kudengar pintu unitku diketuk. “JENATAAAAAAAAAAA, BUKAAAAA!” Kalau kamu dengar teriakan itu langsung, minimal ritme jantungmu sedikit mengencang. Sensasinya seperti diteriakin Guru BP pas lagi usaha manjat pagar samping sekolah. “Utang lu banyak ke gue!” s
Jadi tadi pagi kamu tiba-tiba chat. Bilang kalau semalem kamu mikirin soal hubungan kita dan bakal telepon aku jam sembilan malam.Aku iyain dan kutahu kamu deg-degan.Baca pesan dua baris itu doang aku udah bisa tahu kamu mau bilang apa. Tapi biarlah kamu yang jujur. Bukan tugasku untuk mematahkan hati sendirikan?Dari pagi, dari setelah bales chat-mu itu, seharian aku nggak fokus kerja. Di kantor aku cuma pencet mouse sana-sini entah mau buka folder yang mana, software yang mana.Akhirnya daripada iMac kantor yang mahal itu rusak karena jariku yang gelisah, aku memutuskan buat ngopi, dengan alasan mau ketemu klien ke orang kantor. Syukurnya di-Acc.Jalanan Jakarta juga udah nggak terlalu rame. Mungkin karena orang-orang udah duduk manis di kantornya, nggak kaya aku yang kelayapan.Selama nyetir, yang aku pikirin cuma kamu.Nggak kaya biasanya.Tapi kali ini kamu.Dari awal kenal kamu, sampai tadi pagi, sampai chat-mu itu.Flashback sambil nyetir itu menyenangkan ternyata. Coba deh s
Setelah flashback berjam-jam, aku sampai nggak sadar kalau dikit lagi mobil yang kukendarai ini memasuki kawasan Bandung. Entah apa yang aku pikirin. Tapi terserahlah. Hari ini sedang tidak punya tujuan ngopi yang pasti.Mungkin Bandung adalah pilihan yang paling baik untuk ngopi, maupun patah hati. Sekarang hampir jam empat sore. Berarti ada sekitar lima jam lagi sebelum kamu nelpon. Itupun kalau jadi.Tapi bodohnya aku masih deg-degan. Aku mengarah ke salah satu kedai kopi yang lumayan enak di Bandung. Enak menurutku ya. Aku ingat betul Coffee Shop ini aku temukan secara tidak sengaja di satu mendung yang dulu banget. Selain tempatnya di tengah kota, desain interior cafenya yang tidak begitu ramai, aku suka barista-barista di sana. Ramah. Dan ganteng-ganteng. Segerlah lihatnya. Berasa cuci mata. Oh nggak lupa, kopinya enak. Cookies-nya juga nggak bisa dianggap remeh. "Eh si Teteh. Masuk Teh. Pasti ice cappucino double shot lagi kan?" Tanya salah satu barista yang namanya Leo.