All Chapters of Mengejar Cinta Puteri Bangsawan: Chapter 41 - Chapter 50

Kedatangan mereka menambah ramai perguruan hutan hitam. Larasati dan Bajang ada teman bermain dan berlatih sementara Resi Kamandalu bertapa di puri. Larasati kelihatannya cukup menyenangkan untuk menjadi teman, orangnya sangat luwes dan terbuka. "Kalian sudah berapa lama tinggal di padepokan?" tanya Citrangada. "Aku dan Bajang dipungut sejak kecil, orang tua kami gugur dalam perang saudara. Mereka dicap pemberontak karena membela Panduwinata, raja yang diakui rakyat, pemegang kujang emas." Padahal Panduwinata telah kehilangan kujang emas dua puluh lima tahun silam, kabar itu sepertinya tersimpan rapat. Panduwinata atau Widura bukan raja yang sah karena mereka tidak memegang kujang emas. Kerajaan Pancala dalam kekosongan kekuasaan, itu situasi yang sebenarnya. "Jadi kalian berguru pada Resi Kamandalu untuk balas dendam?" "Dendam adalah penyakit hati. Seandainya kami kelak berperang melawan Widura semata-mata untuk membela rakyat lemah, bukan atas nama dendam." Sementara itu Arj

Larasati gelisah ketika hari sudah senja Resi Kamandalu belum pulang. Ia berjalan mondar-mandir di depan mereka yang duduk di balai pendopo. "Apakah sebelumnya pernah begini?" tanya Arjuna. "Belum pernah," jawab Larasati panik. "Aku takut terjadi sesuatu dengan eyang guru." "Aku makin pusing melihatmu mondar-mandir kayak anak ayam mencari induknya," gerutu Bajang. "Bisakah kau duduk seperti kami?" Bajang menduga ada urusan penting sehingga Resi Kamandalu pulang terlambat. Barangkali bertemu kawan seperguruan dari daratan Tiongkok yang sering berkunjung ke Pancala. Resi Kamandalu adalah pertapa sakti yang paling disegani di wilayah Pancala. Mereka berpikir ulang untuk berurusan dengannya. Pendekar golongan putih dan golongan hitam sangat menaruh hormat kepadanya. "Apakah kau tidak khawatir dengan keselamatan eyang guru?" delik Larasati kesal. "Kau murid durhaka!" "Kau seharusnya mengkhawatirkan diri sendiri," balik Bajang santai. "Makan apa besok kalau eyang guru tidak pulang?"

Arjuna hanya mendengarkan dengan sebelah telinga ketika Resi Kamandalu bercerita tentang kujang emas selesai meditasi. "Aku kira kujang emas berada di tanganmu bukan kebetulan," kata kakek berselempang putih itu. "Ia berjuang menembus ruang dan waktu pasti membawa pesan penting untukmu, hanya belum terungkap." "Kujang emas singgah di zamanku karena lelaki tidak bertanggung jawab." Kebodohan ibunya telah menyeret Arjuna pada masalah yang rumit. Seandainya ia kembali ke abad dua puluh satu, bagaimana pertanggungjawaban dirinya kepada keluarga Angada? Citrangada pergi bersamanya, dan mereka tidak tahu pergi ke mana. Jadi masalah besar jika ia dianggap penculik cinta. Penjara menunggunya! Arjuna berharap Han tidak bercerita kalau Citrangada berada di kamarnya, sebelum mereka menghilang tanpa jejak, sehingga ia ada ruang untuk membela diri. "Sebenarnya apa yang kau inginkan?" tanya Citrangada saat mereka berjalan-jalan melihat pemandangan di sekitar. "Resi Kamandalu berusaha

Arjuna berlatih jurus Menangkap Ekor Merak, bagaimana merespon energi lawan yang datang dan memantulkan kembali energi itu sehingga lawan seakan memukul bola karet raksasa. Jurus itu berupa serangkaian gerakan berturut-turut dan sambung menyambung dengan jing sebagai energi utama, seberapa dahsyat pukulan tergantung seberapa besar chi yang dikeluarkan lawan. Menangkap Ekor Merak merupakan bagian dari delapan jurus tai chi dalam kitab kuno I Ching, kitab legendaris dari daratan Tiongkok. "Kau menguasai jurus cepat sekali," puji Resi Kamandalu. "Delapan energi sudah kau kuasai dalam separuh tahun." "Lalu apa hubungannya dengan kujang emas?" "Kau bisa menggunakan delapan energi untuk mengendalikan kujang emas. Kau akan menjadi pendekar tanpa tanding." "Aku lebih suka menjadi pendekar tanpa bertanding." Larasati memandang kagum. "Kau sungguh hebat sekali. Aku saja belum menguasai secara sempurna." Arjuna sangat payah dalam penguasaan jurus kalau tidak didukung energi kujang emas.

Mereka mengurangi lari kuda saat memasuki hutan hitam. Semak-belukar tumbuh malang-melintang sehingga cukup menyulitkan untuk dilewati. Pemandangan di sekitar tampak cukup gelap, sinar matahari tidak dapat menembus rimbunnya dedaunan, dahan mati yang tergantung patah menciptakan halusinasi yang menyeramkan jika perasaan takut menyergap. "Aku baru mengerti Resi Kamandalu melepas kita seolah pergi selamanya," kata Citrangada. "Kita sulit mengingat jalan untuk pulang." "Kita pergi ke arah barat," ucap Larasati. "Padepokan hutan hitam berarti berada di sebelah timur." "Kau ingat posisi persisnya?" "Tidak." Hutan ini sangat luas, sulit menemukan lokasi terpencil secara tepat. Mereka melakukan perjalanan berpedoman pada matahari. Mereka kehilangan penunjuk arah saat memasuki hutan hitam. Mereka menjelajah hutan hitam berdasarkan insting, berusaha menempuh jalan lurus. Bajang baru paham kegagalan yang dimaksud gurunya, jika kurang jeli, mereka akan kembali ke lem