All Chapters of Pemuas Hasrat Sang Presdir: Chapter 111 - Chapter 120

"Maksudmu?"Suara Gilea keluar bergetar, lebih lirih dari yang dia kira. Pandangannya menancap ke Bumi, penuh dengan taburan tanda tanya yang mengusik jiwa. Pertanyaan Bumi itu, jujur, membuat jantungnya berdesir kencang bagai ditabuh genderang perang. Bagaimana mungkin Bumi mengatakan hal itu? Apakah mungkin... pria itu belum menandatangani surat cerai yang dengan hati hancur telah dia berikan?Segunung ketenangan yang dengan susah payah dibangunnya berbulan-bulan lamanya, runtuh seketika. Digantikan oleh kegusaran yang menggerogoti seluruh relung hatinya."Kenapa diam, Gilea?" sergah Bumi, suaranya rendah namun mengiris. "Apa kau takut? Takut mengetahui bahwa kau masih istriku yang sah? Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku?" Tanpa ampun, tangan Bumi refleks menjerat pergelangan tangan Gilea. Cengkeramannya begitu keras, membuat Gilea meringis menahan nyeri."Lepaskan dia, sekarang!"Auman Daniel menggema. Dengan gerakan cepat, dia menarik kerah baju Bumi hingga membuatnya ter

Pintu mansion yang megah dan dingin tertutup dengan bunyi klik yang final, mengurung mereka dalam keheningan yang tegang. Lampu sensor menyala otomatis, menerangi hall utama yang luas dan mewah, namun terasa lebih mirip lobi hotel berbintang lima daripada sebuah rumah. Steril dan tanpa jiwa.Gilea langsung menjauh dari Bumi, seperti didekati oleh predator. Tubuhnya yang gemuk dan berat karena hamil tua bergerak dengan susah payah, namun tekadnya untuk menjaga jarak terlihat jelas. Dia membelakangi Bumi, memeluk perutnya yang besar, bahunya naik turun oleh napas yang masih tersengal-sengal campur tangis yang tertahan.Bumi berdiri di dekat pintu, menatap punggung istri yang dingin dan menjauh. Amarah buta yang tadi membara di rumah sakit perlahan mereda, digantikan oleh bayangan penyesalan yang mulai menyelinap masuk, melihat betapa ketakutan dan kebencian yang dipancarkan Gilea. Dia teringat sesaat pada Maria yang tadi menemaninya, tapi ingatan itu cepat pudar, tenggelam oleh kekacauan

Pagi itu, Gilea terbangun dengan perasaan sesak yang lebih menyiksa daripada mual kehamilannya. Matanya yang sembab dan berat terbuka, menatap langit-langit kamar mewah yang dulu menjadi saksi bisu segala bahagia dan laranya.Setiap sudut ruangan ini adalah kenangan. Di ranjang besar itulah dia pertama kali merasakan sentuhan Bumi, di balkon itulah mereka berbagi mimpi, di lantai marmer itulah air matanya kerap menetes diam-diam. Hanya kuman yang tak tampak mata saja mungkin yang tak menyimpan kenangannya bersama pria berotak udang itu.Gilea menarik nafas sedalam yang dia bisa. Sulit memang sebab ia merasa udara terasa pekat, dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang seharusnya sudah mati. Ini sungguh membuatnya tidak bisa bernapas.Dengan susah payah, dia mendorong tubuhnya yang berat untuk bangkit. Dia harus keluar dari sini. Bahkan kalau memingkinkan bukan hanya dari kamar ini, tapi dari kehidupan Bumi, dari jerat mansion megah yang terasa lebih pengap daripada penjara mana pun.Tapi

Habis sudah air mata Gilea untuk Bumi. Perkataan Bumi yang dengan mudahnya menyematkan kata "anak haram" untuk buah cinta mereka telah memadamkan lentera cinta terakhir yang masih berkedip lemah di hatinya. Yang tersisa kini hanyalah abu dingin dan kebencian yang membara, sebuah kebencian yang begitu pekat hingga mungkin tak akan pernah menemukan jalan untuk kembali.Dengan kepala tegak dan mata yang menyala oleh api kemarahan yang pahit, Gilea memandang Bumi. "Kau tidak perlu bersusah payah melakukan tes DNA atau apapun itu, tuan Nathan Aldian Bumi Wicaksono," ucapnya lantang, suaranya dingin dan tajam seperti beling, sengaja menantang dan melukai ego Bumi yang sudah membengkak. "Anak ini memang bukan anakmu. Dia adalah anak ku dan Daniel."Ucapan itu adalah sebuah bom bunuh diri. Gilea sangat tahu konsekuensinya. Dia bisa melihat bayangan kekerasan dan pembalasan dendam di mata Bumi yang membelalak. Tapi rasa sakit yang diucapkan Bumi lebih menyiksa daripada rasa takut akan kekerasan

Dengan perasaan hampa dan getir, Gilea menjalani hari-hari pemulihannya di dalam kamar rumah sakit yang terasa seperti penjara mewah. Setiap pintu dan jendela seakan mengatup, mengurungnya dalam kesedihan yang tak terperi.Bumi, dalam upayanya yang terlihat seperti penebusan dosa, telah mengatur penjagaan ketat. Tak seorang pun boleh masuk atau keluar kecuali tenaga medis. Bahkan Gilea sendiri tidak diizinkan keluar dari kamarnya. Setiap kali ia mengungkapkan keinginan untuk menikmati udara segar atau sekadar melihat matahari, permintaannya selalu ditolak mentah-mentah.Bumi datang setiap hari, selalu membawa setangkai bunga atau makanan favorit Gilea, yang selalu berakhir tak tersentuh di meja samping tempat tidur. Maria pun kerap menyertainya, dengan senyum simpatik yang justru membuat Gilea mual.Namun Gilea sudah memutuskan. Dinding yang ia bangun bukan hanya dari batu bata, tapi dari kekecewaan dan kebencian yang membaja. Setiap kali Bumi masuk, ia memalingkan wajahnya ke tembok,