All Chapters of Dalam Genggaman Tiran Tampan: Chapter 121 - Chapter 130

Aroma kopi dan roti panggang menguar dari dapur restoran keluarga Monaghan, dan pagi itu berjalan seperti biasa—tenang, sedikit sibuk, tapi tetap hangat. Belle dan Liam baru saja sampai, berjalan berdampingan sambil mendiskusikan stok bahan makanan yang perlu ditambah. Liam menguap lebar, mengeluh soal bangun pagi. Sementara Belle memeriksa daftar yang dia bawa dari rumah. Namun langkah mereka terhenti begitu pintu restoran terbuka dan seseorang masuk. Seorang wanita paruh baya, anggun dan memesona dalam balutan mantel panjang krem elegan, melangkah masuk dengan langkah pelan namun penuh wibawa. Rambutnya tersanggul rapi, sepatu hak rendahnya terdengar halus menyentuh lantai kayu. Dia melepas kacamatanya perlahan, dan menatap sekeliling restoran dengan senyum tipis yan

Malam turun perlahan di desa kecil itu. Cahaya lampu meja di kamar Belle temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding-dinding kayu yang hangat. Di luar, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang sesekali menyelinap lewat sela jendela yang sedikit terbuka.Belle duduk di tepi ranjang, memandangi tangannya sendiri. Matanya terpaku pada cincin berlian kecil yang berkilau pelan di bawah cahaya lampu. Cincin itu… lambang dari segalanya.Belle mengangkat tangan, memutar perlahan cincin itu di jari manisnya. Ingatan kembali menghampiri—saat Dante menyematkannya dengan penuh harap, dan sorot mata yang seolah ingin menjanjikan seluruh dunia.Tapi kenyataan jauh lebih rumit.Cinta mereka diuji oleh begitu banyak hal. Terutama dunia yang tidak mengizinkan Belle untuk merasa cukup layak berdiri di sisi Dante.Dia menarik napas panjang, lalu pelan-pelan melepas cincin itu dari jarinya.Kilau berlian itu terasa dingin di telapak tangannya. Belle menggenggamnya sejenak, menutup mata, mencoba me

Beberapa hari berselang sejak insiden di tepi danau. Sesuatu yang ganjil tapi perlahan menjadi kebiasaan baru mulai terlihat di restoran keluarga Monaghan. Setiap menjelang siang, saat kursi-kursi kayu mulai dipenuhi pelanggan tetap dan aroma panggangan mulai memenuhi udara, seorang pria tua akan muncul dengan langkah lambat dan raut muka masam yang khas. Mengenakan mantel wol abu-abu tua dan topi bulu kecil, dia selalu mengambil kursi yang sama—di pojok dekat jendela, menghadap jalan.Itu Richard Grentham.Dia tidak pernah tersenyum saat masuk, tidak pula menyapa dengan ramah. Tapi tidak seperti dulu, kali ini dia tidak membuat kekacauan. Tidak ada lagi suara keras yang menggertak pelayan karena gula terlalu manis, atau omelan karena roti sedikit terlalu renyah. Dia hanya mengeluh… seperti rutinitas, bukan ledakan emosi.Bahkan sesekali, mulut tuanya hanya menggumamkan, “Seharusnya saus tomat ini dibuat dari tomat segar. Siapa yang menggunakan kalengan?” lalu menyeruput supnya sampai

Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan ketika Belle melangkah keluar rumah dengan rambut dikuncir rendah dan jaket tipis membalut tubuh. Di belakangnya, Liam mengikuti sambil menggenggam helm motor tuanya. Hari itu mereka akan menuju restoran lebih awal—ada pengiriman bahan baku dari pemasok baru yang harus diterima langsung.Belle sedang sibuk memeriksa pesan di ponsel ketika langkahnya terhenti mendadak di depan pagar rumah. Liam nyaris menabraknya karena tidak siap dengan langkah kakaknya yang tiba-tiba berhenti.“Apa—” suara Liam terputus, tatapannya langsung tertuju ke arah seberang jalan.Seorang pria berdiri di sana, mengenakan kemeja putih yang lengan atasnya digulung rapi. Rambutnya tersisir ke belakang, dan sepasang mata kelabu tajamnya langsung menatap lurus ke arah Belle.Dante Hudson. Dia bersandar santai di pagar besi hitam rumah yang dulunya kosong dan tak terawat, namun kini tampak baru direnovasi dengan gaya modern minimalis. Halaman depannya bersih, dan pot-pot

Langit mendung menggantung di atas desa kecil itu, seolah meniru rona wajah Belle yang tampak begitu letih dan kehilangan semangat. Langkahnya pelan, tubuhnya agak membungkuk. Dan senyuman yang biasa dia berikan kepada pelanggan setia pagi hari ini tak lagi tampak.Liam yang sedang mengatur stok di balik meja kasir memperhatikan gerak-gerik kakaknya. Dia mengernyit begitu melihat Belle berusaha tersenyum saat menyajikan teh ke meja pelanggan, tapi senyumnya tampak dipaksakan. Kulit di bawah mata Belle tampak menggelap, dan warna bibirnya lebih pucat dari biasanya.Begitu Belle kembali ke dapur, Liam segera mengikutinya. “Belle, kau kenapa? Wajahmu pucat sekali,” ujarnya sambil menurunkan suara agar tidak terdengar pelayan lain.“Aku baik-baik saja,” Belle berusaha menyuarakan nada tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong.“Berhenti dulu. Istirahat saja di rumah. Hari ini aku bisa pegang kasir, pelayan juga cukup,” Liam melipat tangan di depan dada.Belle menggeleng pelan. “Aku butuh