Lahat ng Kabanata ng Ibu Susu Bisu Bayi Kembar Tuan Penguasa: Kabanata 351 - Kabanata 360

“Apa kau percaya aku yang menyebabkan Thalia mengakhiri hidupnya?” tanya Sydney pelan penuh selidik.Wanita itu memalingkan wajahnya sejenak, berusaha meredam perasaan, sebelum kembali menatap Zya yang masih berdiri kaku di depan mereka.“Apa kau terpengaruh rumor tentangku di luar sana, Zya?” lanjut Sydney, sedikit lebih lirih. “Katakan sejujurnya.”Pertanyaan itu bukan hanya lahir dari rasa penasaran, tetapi juga dari luka.Luka yang selama berminggu-minggu terakhir tidak kunjung sembuh.Diakui atau tidak, reputasi Sydney memang memburuk setelah kasus Thalia.Mereka masih berusaha membersihkan nama Sydney, tetapi hasilnya nyaris nihil.Beberapa klien telah memutus kerja sama.Tidak menutup kemungkinan, para karyawan yang berprinsip seperti Zya juga memilih mundur pelan-pelan.Zya langsung menatap Sydney cepat.“Tidak mungkin saya percaya dengan rumor itu, Nyonya,” jawab Zya tergesa-gesa, kali ini suaranya terdengar bulat. “Saya tahu Nyonya tidak mungkin berbuat seperti itu. Saya per

“Kau Sydney Draxus, si pembunuh pengasuh itu, kan?!” Kalimat itu meluncur dari mulut wanita asing itu seperti petir yang menyambar langit cerah. Sydney langsung melebarkan mata. Dia tahu hari itu akan penuh kejutan. Namun, Sydney tidak menyangka akan diludahi kalimat seperti itu di ruang tunggu rumah sakit, di hadapan anak-anaknya sendiri. Beberapa orang yang duduk di kursi sekitar sontak menoleh. Tatapan-tatapan tajam menghujani tubuh Sydney, seolah mereka menunggu wanita itu menanggapi dengan panik atau berusaha membela diri. Wanita asing itu belum berhenti. Dia justru beralih menatap dua pengasuh si kembar kedua yang duduk dengan gugup di samping stroller. “Kalian harus berhati-hati,” ujar wanita itu sambil menunjuk dengan dagu. “Salah sedikit, nyawa kalian taruhannya.” Pengasuh-pengasuh itu saling pandang. Wajah mereka pucat. Salah

“Rumah ini sepi sekali,” komentar Sydney begitu turun dari mobil yang terparkir tepat di depan pagar rumah kecil milik Zya. Jarum jam sudah menunjuk pukul delapan malam lewat, dan udara Highvale cukup dingin malam itu. Baru beberapa menit lalu Sydney selesai menghadiri rapat internal divisi konten yang cukup menguras kepala dan hati, tetapi entah kenapa, dia tetap meminta sopir mengantarnya ke sini. Ini Sydney lakukan tanpa rencana. Wanita itu hanya ingin memastikan sesuatu. Ding! Dong! Sydney menekan bel rumah yang langsung berbunyi nyaring dari balik pagar besi setinggi pinggang. Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah dalam. Lampu teras menyala, dan dari balik jendela, tampak Zya mengintip dengan ragu. Begitu melihat siapa yang berdiri di luar, mata Zya membesar. Pintu terbuka. Disusul suara yang terdengar ka

“Aku benar, bukan?” tanya Sydney sambil memiringkan kepala dan mengangkat salah satu alisnya.Isak tangis Zya berhenti seketika.Wanita muda itu menatap Sydney dengan mata melebar.Sorot mata Zya seperti tidak percaya atasannya itu bisa menebak semuanya.Sydney menggeleng pelan, lalu menghela napas yang terasa berat.“Tidak perlu mengelak,” lanjut Sydney tajam. “Kau diperkosa. Lalu kau memutuskan hubunganmu dengan Ken karena kau tahu kau akan mengandung benih pria lain.”Sydney mengambil napas sebelum melanjutkan, “Kau memang cerdas dan penuh strategi, Zya, tapi aku ini Sydney. Aku bisa membacamu lebih baik dari siapa pun. Jadi, katakan! Siapa yang memperkosamu?!”Zya menggigit bibir bawahnya.Dia menutup wajah dengan kedua tangan, sementara tubuhnya merunduk seperti ingin menghilang dari pandangan Sydney.“Kau atau memberitahuku sekarang, atau menunggu suamiku yang turun tangan?” Sydney mendesak lebih

“Apa?!” seru Morgan, tiba-tiba dengan suara meninggi. Sydney menoleh cepat. Jantungnya ikut mencelos. Wajah Morgan yang semula tenang kini berubah mengeras, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan kabar tidak terduga. Sydney tidak mendengar apa pun dari isi telepon itu. Namun, ekspresi Morgan sudah menjelaskan banyak hal. “Baiklah,” ucap Morgan pendek, sebelum memutus sambungan. Morgan menurunkan ponsel, lalu memalingkan wajahnya ke jendela selama beberapa detik. Kedua mata pria itu menatap kosong ke luar, berusaha mencerna kenyataan yang tidak pernah dia perhitungkan. Sydney mengangkat kedua alisnya. “Morgan?” panggil Sydney. Morgan perlahan menoleh ke arah Sydney. Rahang pria itu masih menegang, dan napasnya terdengar pendek-pendek. “Jerry …” kata Morgan dengan suara berat, “baru saja dikabarkan meninggal dunia.” Sydney terpaku. “Gugur dalam misi bayaran yang dijalankan oleh organisasinya,” lanjut Morgan dengan datar. Morgan sudah pernah menceritaka