Langit malam masih kelam. Di kamar kecil apartemen Ega, suara tangis Aura mulai mereda. Tapi kesunyian yang tinggal justru jauh lebih pekat.Ega duduk bersila di depan Aura, tubuhnya tegap meski ekspresinya lembut. Biasanya, mulutnya cerewet, penuh candaan absurd, komentar konyol tentang makanan atau warna lipstik Aura. Tapi malam ini, Ega benar-benar diam. Mendengarkan.Dan setelah cukup lama hanya ada isak dan napas patah-patah, Ega berbicara.“Ra … kalau lo lelah, ya udah. Nggak usah terus dipaksain. Lo kan bukan batu.”Aura tidak menjawab. Matanya masih basah, tapi ia mendengar.Ega menarik napas, lalu berkata pelan, tulus, seperti sahabat yang menyimpan luka sahabatnya di dadanya sendiri.“Kalau lo ngerasa semuanya udah terlalu rusak, terlalu sesak ... kita cabut aja. Gue temenin. Kita pergi dari kota ini. Kita mulai lagi semuanya dari nol.”Aura menoleh padanya, pelan. Matanya bingung, luka, tapi hangat oleh kehadiran Ega.“Kamu ... mau ninggalin semua demi aku?”Ega tersenyum,
Terakhir Diperbarui : 2025-06-27 Baca selengkapnya