Semua Bab ISTRI LUPA DIRI: Bab 91 - Bab 100

Udara pagi itu cukup hangat, namun ada ketegangan yang menggantung di antara Rachel dan Martin. Mereka duduk berhadapan di meja makan, masing-masing larut dalam pikirannya. Sarapan yang biasanya menjadi momen kebersamaan, kali ini terasa canggung.“Rachel,” ujar Martin akhirnya, memecah keheningan. “Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan soal Dali, soal masa lalu keluargaku. Aku pun masih mencoba menguraikannya.”Rachel mengangkat kepala. Matanya menatap tajam. “Kalau begitu, kenapa kamu tidak terbuka dari awal? Kenapa kamu terlihat seperti sedang menutup-nutupi sesuatu?”Martin terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Bukan karena aku tidak percaya padamu. Tapi karena aku belum tahu pasti mana yang benar. Ayahku dulu menyembunyikan banyak hal tentang Adrian. Bahkan ibuku pun seolah ikut diam. Aku butuh waktu untuk menyusun semuanya.”Rachel menunduk, mencoba menahan emosinya. Ia ingin mempercayai Martin, tapi di saat yang sama, bayangan masa lalu yang terus menghantuinya membuat segala

Gudang tua itu telah kosong selama bertahun-tahun, namun hari itu seolah menjadi saksi terbukanya kembali masa lalu yang terkubur. Rachel memegang erat map lusuh berisi perjanjian rahasia antara Malik Anshari dan ayah Martin. Napasnya tercekat membaca setiap kalimat hitam di atas kertas kecokelatan itu—hitam tidak hanya dalam tinta, tapi juga dalam makna.“Ini… bukti yang kita butuhkan,” ujar Rachel dengan suara serak.Martin mendekat, mengambil map itu dan membaca dengan teliti. Di sana tertera tanggal dua bulan sebelum Adrian menghilang. Isinya jelas—rencana akuisisi paksa atas saham-saham perusahaan yang dikendalikan oleh Adrian dan pihak netral, menggunakan dana siluman dari proyek pembangunan fiktif. Dokumen itu juga menyebutkan nama Adrian sebagai “penghambat utama” dalam kelancaran kesepakatan.“Ayahku… benar-benar terlibat,” gumam Martin, matanya menajam. “Dan Malik tidak hanya membantu, dia bagian dari otaknya.”Dali Malik berdiri di sisi lain ruangan, wajahnya membatu. Butu

Matahari belum sepenuhnya terbit saat Rachel tiba di ruang makan. Secangkir teh hangat di tangannya nyaris tak tersentuh. Matanya sayu, namun pikirannya tak bisa diam. Perkataan orang dari klinik itu terus terngiang.“Tidak ada pasien bernama Adrian Mahendra yang terdaftar saat ini…”Rachel menggulir ulang email yang diterimanya malam tadi dari Prof. Eliane Grüter, kepala terapi di klinik tempat Adrian disebutkan dirawat. Pesan itu sopan dan profesional, namun isinya jelas: mereka tidak pernah menerima pasien dengan nama tersebut, baik sekarang maupun di masa lalu.“Bisa saja namanya diganti. Atau dia dirawat dengan identitas samaran,” gumam Rachel pelan.Martin datang dari belakang dan duduk di seberangnya. Ia memerhatikan ekspresi istrinya sebelum angkat bicara.“Kamu belum tidur semalaman, ya?”Rachel mengangguk. “Aku hanya… merasa semakin banyak yang tidak kita tahu.”Martin menarik napas panjang. “Aku juga. Tapi kita sudah sejauh ini. Kita tidak bisa mundur sekarang.”Rachel men

Rachel berdiri mematung di depan kaca besar butik, menatap bayangannya sendiri yang tampak lebih letih dari biasanya. Pikirannya masih berkelindan pada percakapan terakhirnya dengan Dali, juga pada ekspresi wajah Martin saat ia menyebut nama Malik Anshari. Ada sesuatu yang belum dikatakan Martin. Dan Rachel tahu, rahasia itu cukup dalam untuk membuat suaminya gelisah setiap kali masa lalu dibicarakan.Butik mulai sepi menjelang sore, hanya menyisakan dua staf yang tengah membereskan stok pakaian. Dali belum kembali sejak pergi makan siang—ini bukan pertama kalinya ia pergi tanpa izin, tapi kali ini Rachel memilih diam. Ia ingin memberi ruang, meski hatinya masih penuh tanya.Sambil menyalakan mesin kopi, Rachel membuka laci meja dan mengambil berkas yang ditinggalkan Dali beberapa hari lalu—hasil kerja sama dengan supplier baru. Di atasnya terlipat sebuah catatan tulisan tangan. Saat Rachel membukanya, tulisan itu langsung mengingatkannya pada sesuatu: bentuk hurufnya sangat mirip de

Cahaya mentari menyusup lembut melalui jendela ruang kerja Rachel. Di meja kayu panjang yang dipenuhi kertas desain dan laporan penjualan, Rachel duduk terpaku dengan mata menerawang jauh. Tangannya menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak tersentuh, uapnya sudah menghilang.Sudah dua hari berlalu sejak pertemuan antara Rachel dan Dali di ruang belakang butik. Percakapan itu masih terngiang di telinga Rachel—pengakuan jujur tentang hubungan darah antara Dali dan Adrian, serta kebingungan pria muda itu terhadap masa lalu keluarganya. Meski hati Rachel ingin mempercayainya, benaknya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa begitu banyak hal telah disembunyikan darinya.Martin memasuki ruangan dengan langkah pelan, menyadari bahwa istrinya sedang dalam kondisi sensitif. “Sayang, kamu belum makan apa pun sejak pagi,” ucapnya lembut, meletakkan piring roti panggang di samping cangkir teh.Rachel menoleh, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih… Aku cuma… masih mencerna semua ini.”Ma