Langit Jakarta pagi itu diselimuti mendung, seakan mencerminkan hati Freya Anantasya yang gundah. Di balik meja kasir sebuah minimarket kecil di pinggir jalan raya, Freya berdiri dengan seragam merah lusuh, wajahnya tampak letih. Keringat membasahi pelipisnya, meski kipas tua di sudut ruangan terus berputar dengan bunyi berdecit.“Eh, lama banget sih! Gini doang nyeken barcode aja lelet!” hardik seorang ibu muda dengan nada tinggi.Freya tersenyum kaku, menelan rasa malu. Jemarinya bergetar saat menekan tombol mesin kasir yang mulai rewel. “Maaf, Bu… mesinnya agak error,” ucapnya pelan.Ibu itu menggerutu, membayar dengan kasar, lalu pergi sambil menatap sinis wajah Freya yang berjerawat dan berminyak. Seorang bocah kecil yang ikut bersamanya sempat berbisik, “Ih, jelek banget, Ma.”Ucapan itu seperti pisau yang mengiris hati Freya. Namun ia hanya menunduk, pura-pura tak mendengar. Sudah biasa ia mendapat cibiran soal wajahnya, soal tubuhnya yang tak langsing, soal rambutnya yang jar
최신 업데이트 : 2025-06-23 더 보기