Share

Bab 8 – Ragu

Author: Rae Jasmine
last update Last Updated: 2025-06-25 09:33:57

Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.

“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”

Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.

“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”

Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.

Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah minimarket tampak hangat diterangi lampu kuning redup. Dari tempatnya berdiri, Freya bisa melihat ke dalam melalui jendela besar kaca.

Ia bersembunyi di balik tiang lampu, mengintip dengan hati-hati. Matanya mencari sosok berkemeja hitam, duduk di pojok seperti yang dikatakan Mr.Black.

Dan di sanalah dia. Seorang pria berusia sekitar akhir 30-an, tubuh tegap, rambut disisir rapi. Wajahnya biasa saja, tak terlalu tampan, tapi senyumnya tipis saat memandangi layar ponselnya, sesekali menyeruput kopi.

“Jadi itu Mr.Black? Orang biasa… tapi kenapa aku makin takut?”

Freya menelan ludah. Kakinya rasanya berat melangkah. Ada dorongan untuk mendekat, tapi ada juga dorongan kuat untuk lari.

Ia mundur selangkah, mencoba menenangkan diri. Angin sore meniup rambutnya yang mulai lepek.

“Apa aku berani temui dia? Kalau aku nggak temui… gimana kalau dia dendam? Gimana kalau dia berhenti kirim gift? Gimana kalau dia bikin masalah?”

Tiba-tiba ponselnya bergetar lagi.

“Freya, kamu di mana? Aku lihat keluar kok kamu nggak ada? Aku pengen lihat kamu beneran…”

Freya makin panik. Tangannya gemetar. Pikirannya berkecamuk.

“Ini salahku. Dari awal aku terlalu nyaman dikasih gift. Sekarang aku harus tanggung resikonya…”

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Perlahan ia melangkah menjauh dari café. Satu langkah, dua langkah. Tapi bayangan saldo live streaming dan paket skincare yang masih menunggu di keranjang belanja online membuat langkahnya kembali ragu.

“Kalau aku pulang sekarang, gimana nanti? Apa dia cari aku ke tempat kerja? Apa dia makin nekat?”

Freya memutuskan untuk mengintip sekali lagi. Ia melirik dari balik pohon kecil di depan café. Pria itu masih duduk di sana, kini matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Freya.

Tatapan mereka hampir bertemu. Freya cepat-cepat memalingkan wajah, jantungnya serasa mau copot.

Di dalam café, pria itu—Mr.Black—menghela napas panjang. Ia mengetik pesan lagi.

“Aku nggak mau maksa. Aku cuma pengen kenal kamu beneran. Kamu jangan takut sama aku.”

Pesan itu masuk ke ponsel Freya. Freya membaca dengan tangan dingin.

“Jangan takut? Gimana aku nggak takut? Aku bahkan nggak kenal kamu…”

Angin makin kencang. Jakarta sore itu mulai berbisik sunyi, hanya suara kendaraan sesekali lewat.

Freya berdiri lama di tempatnya, tak sanggup bergerak. Perutnya mulas karena cemas. Ia ingin kembali ke minimarket, pura-pura tak terjadi apa-apa. Tapi hatinya masih digelayuti rasa bersalah.

“Ibu… maaf, aku nggak nurut. Ibu pernah bilang jangan mudah percaya orang asing. Tapi aku malah terjebak kayak gini…”

Hampir setengah jam Freya hanya berdiri, bersembunyi, bimbang. Akhirnya Mr.Black bangkit dari kursinya. Ia membayar kopi dan keluar café, menengok ke kiri dan ke kanan.

Freya menahan napas di balik pohon dan langkah Mr.Black makin mendekat ke arah minimarket.

Mr.Black berhenti sejenak, berdiri di depan minimarket. Matanya menyisir sekitar, lalu tersenyum tipis. Ponsel Freya bergetar.

“Aku deket banget sama kamu sekarang. Besok aku tunggu lagi ya… jangan bikin aku nunggu sendirian.”

Freya memejamkan mata, tubuhnya gemetar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 8 – Ragu

    Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

    Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 6 – Wajah di Balik Layar

    Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 5 – Batas yang Menipis

    Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 4 – Dilema Sebagai Anak

    Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 3 – Masih Menjadi Rahasia Freya

    Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status