Freya, seorang wanita muda, menjalani hidup sederhana sebagai kasir di minimarket. Gajinya pas-pasan, hanya cukup untuk makan dan ongkos saja. Sementara orang tuanya, mantan pedagang buah yang bergantung hanya padanya. Selain kesulitan ekonomi, Freya juga kerap menjadi korban ejekan karena wajahnya berjerawat, rambutnya tak terurus, dan tubuhnya yang sedikit gemuk. Hingga suatu hari, sebuah brosur lowongan kerja menarik perhatiannya—talent live streaming di sebuah aplikasi hiburan. Pekerjaan ini sederhana, hanya berbicara di depan kamera dan membaca pesan dari penonton. Freya mencoba, dan perlahan kehidupannya berubah. Dengan bantuan filter kamera, ia terlihat lebih menarik, menarik perhatian banyak pria, termasuk seorang donatur tetap yang sering memberinya gift dalam jumlah besar. Keberhasilannya menimbulkan gosip di tempat kerja. Sintya, rekan yang iri padanya, diam-diam menyelidiki dan menemukan fakta mengejutkan: pria yang sering memberi Freya gift adalah bos kakaknya, seorang pengusaha kaya yang sudah menikah. Istrinya lumpuh akibat kecelakaan, dan pria itu dikenal gemar mendekati wanita muda. Freya yang awalnya tidak tahu kebenarannya, justru tetap bertahan demi menikmati kehidupan mewahnya. Bahkan melakukan operasi plastik dengan uang dari pria tersebut. Namun, ketika kenyataan terbongkar,dia tetap memilih mempertahankan relasi demi kestabilan finansialnya. Hingga suatu malam, kecelakaan tragis terjadi. Pria itu meninggal, sementara Freya mengalami luka serius dan kehilangan kemampuannya berjalan,sama seperti istri pria tersebut. Dalam penderitaannya, Freya menyadari kesalahannya dan kembali ke pelukan keluarganya dan menjalani hidup sederhana seperti dulu, tetapi dengan hati yang lebih bijaksana.
View MoreLangit Jakarta pagi itu diselimuti mendung, seakan mencerminkan hati Freya Anantasya yang gundah. Di balik meja kasir sebuah minimarket kecil di pinggir jalan raya, Freya berdiri dengan seragam merah lusuh, wajahnya tampak letih. Keringat membasahi pelipisnya, meski kipas tua di sudut ruangan terus berputar dengan bunyi berdecit.
“Eh, lama banget sih! Gini doang nyeken barcode aja lelet!” hardik seorang ibu muda dengan nada tinggi. Freya tersenyum kaku, menelan rasa malu. Jemarinya bergetar saat menekan tombol mesin kasir yang mulai rewel. “Maaf, Bu… mesinnya agak error,” ucapnya pelan. Ibu itu menggerutu, membayar dengan kasar, lalu pergi sambil menatap sinis wajah Freya yang berjerawat dan berminyak. Seorang bocah kecil yang ikut bersamanya sempat berbisik, “Ih, jelek banget, Ma.” Ucapan itu seperti pisau yang mengiris hati Freya. Namun ia hanya menunduk, pura-pura tak mendengar. Sudah biasa ia mendapat cibiran soal wajahnya, soal tubuhnya yang tak langsing, soal rambutnya yang jarang disisir rapi. Baginya, setiap hari di tempat kerja hanyalah perjuangan untuk bertahan, bukan untuk dihargai. Pekerjaan sebagai kasir tak memberinya cukup uang untuk sekadar mempercantik diri. Gajinya habis untuk biaya makan, bayar kontrakan petakan kecil di pinggir rel, dan membeli obat untuk ayahnya yang sering batuk-batuk. Ibunya? Sudah lama berhenti berjualan buah sejak dagangan mereka tergusur proyek pelebaran jalan. “Freya, cepet dikit kerjanya! Antrian panjang tuh!” tegur supervisor yang juga tak suka padanya. “Baik, Kak,” jawab Freya lirih. Hidup ini memang kejam, batinnya. Tapi ia tak punya pilihan. Ia anak tunggal, harapan satu-satunya bagi kedua orang tuanya. Setiap malam sebelum tidur, ia memandangi langit-langit kamar kontrakan yang bocor, membayangkan seandainya punya uang banyak—hidupnya pasti berbeda. ⸻ Sore itu, saat Freya hendak pulang, hujan turun deras. Ia berlari-lari kecil ke halte, menunggu angkot langganannya. Rambutnya basah kuyup, seragamnya lepek. Jakarta benar-benar tak ramah bagi orang kecil sepertinya. Saat angkot berhenti, Freya naik. Penumpang penuh sesak. Ia duduk di pojok, mencoba memejamkan mata sejenak. Namun pandangannya justru jatuh pada selebaran kertas yang tertempel di kaca angkot, terkena setetes air hujan hingga sebagian luntur. “LOWONGAN PEKERJAAN — TALENT LIVE STREAMING. CUMA NGOBROL DI DEPAN KAMERA. PENGHASILAN JUTAAN RUPIAH! TIDAK PERLU PENGALAMAN. DAFTAR SEKARANG: HUBUNGI WA…” Freya membaca berulang-ulang. Jutaan rupiah? Hanya ngobrol? Benarkah? Hati kecilnya bergejolak. Inilah yang selalu diimpikannya—cara mengubah hidup. Tapi… mungkinkah? Bukankah dunia hiburan itu penuh tipu daya? “Ah, mana ada orang kayak aku laku di live streaming,” gumamnya. Tangannya ingin merobek selebaran itu, namun ia urungkan. Matanya terus tertuju pada nomor W******p yang tertera. ⸻ Sesampainya di kontrakan, Freya disambut ibunya yang baru selesai memasak nasi dan tumis kangkung sederhana. Bau masakan sederhana itu memenuhi ruangan sempit yang jadi satu dengan tempat tidur mereka. “Freya, gimana kerjaan hari ini?” tanya sang ibu dengan senyum lelah. “Ya gitu, Bu. Capek. Tapi nggak apa-apa kok,” jawab Freya, memaksakan senyum. Ayahnya hanya terbatuk pelan dari sudut ruangan, tubuhnya kurus, wajahnya pucat. Pemandangan itu menyesakkan dada Freya. Ia melepas sepatu basahnya, menggantungkan seragam di paku dinding, lalu duduk bersila menemani ibunya makan malam. Mereka makan dalam diam. Hanya suara hujan di luar dan sesekali batuk ayahnya yang terdengar. Freya mencuri pandang pada wajah ibunya yang menua sebelum waktunya, pada tangan kurusnya yang sudah kasar karena bekerja keras sejak muda. Malam itu, sambil berbaring di kasur tipis yang mereka sebut ranjang, Freya memandangi layar ponselnya. Nomor W******p di selebaran itu sudah ia simpan. Berkali-kali ia membuka dan menutup aplikasi pesan. Jemarinya gemetar. “Selamat malam, saya tertarik dengan lowongan talent live streaming ini. Apa syaratnya?” Ia tatap pesan itu lama. Jantungnya berdebar. Pikiran berkecamuk. Ini kesempatan atau jebakan? Bagaimana jika benar? Bagaimana jika ini hanya tipu daya? Gambaran wajah ayahnya yang batuk, ibunya yang selalu tersenyum meski lelah, kontrakan mereka yang bocor jika hujan deras, semua berkelebat di pikirannya. Akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, ia menekan tombol kirim. Pesannya terkirim. Centang satu… centang dua… biru. Hatinya berdebar makin keras. Tak lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk: “Selamat malam, Kak Freya. Terima kasih sudah tertarik. Kami yakin Kakak punya potensi. Boleh kirim foto Kakak dan nanti kami pandu langkah berikutnya?” Freya menatap layar itu lama. Hatinya bergetar. Sebuah kalimat sederhana, tapi terasa seperti uluran tangan yang selama ini ia tunggu. Di luar, hujan masih deras mengguyur Jakarta. Dan di kamar kontrakan itu, Freya belum tahu bahwa malam ini adalah awal dari jalan yang akan membawanya pada godaan, kemewahan, dan penyesalan. Freya memejamkan mata sejenak, lalu membuka galeri ponselnya. Dengan jantung berdebar, ia bersiap memilih foto untuk dikirim. Inilah titik awal yang akan mengubah segalanya.Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah
Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar
Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah
Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b
Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu
Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments