Home / Rumah Tangga / SIMPANAN OM-OM / Bab 2 – Keputusan Pertama Freya

Share

Bab 2 – Keputusan Pertama Freya

Author: Rae Jasmine
last update Huling Na-update: 2025-06-23 17:20:28

Freya menarik napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini menampilkan foto dirinya sendiri. Ia baru saja memotret wajahnya dengan pencahayaan seadanya di kamar sempit itu. Rambut hitamnya ia sisir rapi dengan jari, dan ia mencoba tersenyum sekilas—senyum yang lebih banyak menahan gugup daripada percaya diri.

Jemarinya masih gemetar ketika akhirnya ia menekan tombol kirim. Foto itu meluncur ke chat, dan detik-detik menegangkan pun dimulai. Ponselnya diam beberapa saat. Lalu, tanda centang dua berubah biru.

Balasan datang nyaris seketika.

“Terima kasih banyak, Kak Freya. Wajah Kakak manis kok, cocok banget jadi talent. Yuk, Kak daftar. Besok kita coba live pertama. Kakak cukup d******d aplikasinya, kami bantu set akun. Nggak perlu modal apa-apa.”

Freya membaca pesan itu berulang-ulang. Ada rasa lega, tapi juga ragu. Ia menatap wajah ayahnya yang sudah tertidur di sudut kamar, masih sesekali terbatuk kecil. Ibunya sudah terlelap, kelelahan setelah seharian mengurus rumah.

“Hanya ngobrol, nggak ada salahnya dicoba, kan?” gumam Freya pada dirinya sendiri.

Malam itu ia mendownload aplikasi live streaming yang dimaksud. Sinyal internet pas-pasan, tapi akhirnya berhasil. Ia membuat akun dengan bantuan admin dari lowongan itu. Nama pengguna yang ia pilih: Freya_Ananta.

Pagi datang dengan gerimis tipis. Freya memutuskan izin setengah hari dari minimarket dengan alasan urusan keluarga. Padahal pagi itu ia duduk di depan ponsel bekasnya, menyiapkan diri untuk live pertamanya.

Pihak agensi memberinya panduan: cukup sapa penonton, jawab chat, dan jangan lupa senyum. Tak ada yang sulit, katanya.

“Siap, Kak?” tulis admin agensi.

Freya membalas: “Siap.”

Dan dengan satu sentuhan di layar, ia memulai siaran perdananya.

Layar kecil itu menampilkan wajahnya dengan filter otomatis yang haluskan kulit, merapikan alis, bahkan membuat wajahnya sedikit lebih tirus. Freya nyaris tak mengenali dirinya sendiri.

“Selamat pagi… aku Freya. Salam kenal semua…” ucapnya dengan suara sedikit gemetar.

Di layar, angka penonton mulai muncul: 2… 5… 10… 20… hingga 50 orang.

Kolom chat mulai bergerak.

“Hai Kak Freya!”

“Baru pertama live ya?”

“Cantik kok, Kak.”

Freya tertegun. Kata-kata itu asing baginya. Di dunia nyata, ia biasa dicibir. Tapi di sini, orang-orang justru memberinya pujian.

“Eh, iya… ini live pertama aku. Makasih udah mau nonton,” katanya sambil tersenyum kecil.

Waktu berjalan. 15 menit, 30 menit. Freya mulai merasa nyaman. Ia bercerita seadanya: tentang hujan di Jakarta, tentang dirinya yang baru belajar live. Kadang ia tertawa kecil, kadang terdiam membaca chat penonton.

Tiba-tiba, sebuah ikon besar muncul di layarnya—ikon gift mewah berbentuk mobil sport animasi. Nilai gift itu fantastis bagi pemula. Nama pengirimnya muncul: MrBlack.

Freya nyaris menjatuhkan ponselnya. Ia membeku.

“Eh… terima kasih banyak… MrBlack…,” ucapnya terbata. Jantungnya berdetak cepat.

Kolom chat langsung heboh.

“Wah, Kak Freya langsung dapat donatur!”

“MrBlack nih terkenal donatur royal!”

“Gila, hoki Kak Freya!”

Freya tersenyum canggung, matanya berkaca-kaca. Rasanya seperti mimpi. Hanya dengan ngobrol begini, ada yang menghargainya.

Ia mulai menjawab lebih banyak chat, membacakan nama-nama penonton, menyapa satu per satu. Senyumannya perlahan lebih tulus, lebih lepas. Ia lupa sejenak akan jerawatnya, tubuhnya yang sering diejek, dan seragam lusuh minimarket.

Hampir satu jam berlalu. Freya merasa waktu begitu cepat. Saat ia menekan tombol selesai, layar menampilkan rekap: penonton puncak 200, gift senilai ratusan ribu rupiah.

Ia menutup mata, mencoba mencerna semua. Baru sekali live, hasilnya sudah seperti ini. Apalagi jika rutin?

Di grup W******p, admin agensi mengirim pesan.

“Keren banget Kak Freya! Donatur udah ada, terus semangat ya. Besok coba lagi jam yang sama.”

Freya memandang hujan di luar jendela. Di luar, langit masih mendung, tapi hatinya seperti baru saja disentuh cahaya.

Namun jauh di tempat lain, seseorang menatap siaran ulang Freya lewat ponselnya. Senyum tipis terlukis di wajah pria itu. Namanya tersimpan sebagai MrBlack.

Ia duduk di ruang kerjanya yang luas dengan pemandangan gedung-gedung tinggi Jakarta. Satu tangannya menggenggam ponsel, yang lain menyesap kopi hitam. Wajahnya tenang, tapi tatapan matanya tajam, meneliti setiap gerak Freya di layar.

“Lugu… polos… gampang dibentuk,” gumamnya, seolah bicara pada dirinya sendiri.

Seorang staf masuk ke ruangannya, membawa berkas. Tapi MrBlack hanya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk keluar. Fokusnya tak lepas dari wajah Freya di layar ponsel.

Malam itu, Freya tak langsung tidur. Ia duduk di sudut kamar, menatap selembar kertas yang ia tulis penuh angka-angka: hitung-hitungan biaya kontrakan, uang sekolah anak tetangga yang sering ia bantu bayarkan, tabungan yang sudah lama kosong.

“Kalau tiap hari begini… aku bisa bantu Bapak beli obat lebih baik…” bisiknya, mata berkaca-kaca.

Tapi jauh di lubuk hatinya, ada bisikan lain. Kekhawatiran. Rasa takut. Semua ini terlalu mudah, terlalu mulus. Hidup tak pernah semudah ini baginya.

Dan di balik layar ponselnya, MrBlack menulis pesan yang belum ia kirim:

“Kamu menarik ya. Aku ingin kenal kamu lebih jauh.”

Namun jari pria itu menahan tombol kirim. Belum saatnya. Ia hanya menatap pesan itu, sambil menunggu waktu yang tepat untuk masuk ke dunia Freya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 8 – Ragu

    Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

    Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 6 – Wajah di Balik Layar

    Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 5 – Batas yang Menipis

    Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 4 – Dilema Sebagai Anak

    Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 3 – Masih Menjadi Rahasia Freya

    Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status