Home / Rumah Tangga / SIMPANAN OM-OM / Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

Share

Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

Author: Rae Jasmine
last update Last Updated: 2025-06-25 09:29:26

Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.

Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.

Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.

Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincare baru.

“Kalau bukan karena dia, aku nggak mungkin bisa dapat uang sebanyak ini…”

Namun di balik gemerlap itu, hatinya mulai tak tenang. Mr.Black bukan hanya memberi gift, tapi mulai sering mengirim pesan pribadi. Pesan-pesan yang awalnya ramah kini mulai bernada mendesak.

“Freya, aku suka ngobrol sama kamu. Aku pengen ketemu langsung.”

“Cuma sebentar kok. Aku janji nggak akan macem-macem.”

“Kamu nggak percaya aku? Aku kan sudah banyak bantu kamu.”

Setiap kali membaca pesan itu, dada Freya terasa sesak. Ponselnya seakan lebih berat di genggaman. Ia duduk lama memandangi layar, bingung harus membalas apa.

“Kalau aku nolak, dia marah… kalau dia marah, gimana kalau dia berhenti kasih gift? Gimana kalau penghasilan aku langsung anjlok? Aku nggak mau balik ke hidup yang dulu…”

Di satu sisi, Freya sadar betul ia tak kenal siapa Mr.Black. Wajahnya pun tak pernah ia lihat. Di live streaming, Mr.Black hanya nama tanpa wajah. Laki-laki yang entah siapa, entah di mana.

Tapi godaan uang itu kuat. Setiap kali saldo bertambah, rasa takutnya seolah terkubur sejenak.

Malam itu, setelah selesai live, Freya merebahkan diri. Lampu kamar remang, hanya cahaya ponsel yang menari di dinding. Mr.Black baru saja menulis lagi.

“Besok aku di Jakarta. Aku tunggu kamu di café dekat minimarket tempat kamu kerja. Jam lima sore.”

“Aku pengen lihat kamu. Biar aku nggak cuma lihat kamu di layar.”

Freya memejamkan mata. Jantungnya berdegup kencang.

“Kenapa dia tahu aku kerja di minimarket itu? Apa aku pernah nyebut? Atau… dia cari tahu sendiri?”

Ketakutannya kini nyata. Ini bukan lagi hanya soal gift, soal angka di saldo. Ini soal keselamatan dirinya.

Ia menggigit bibir, mencoba berpikir jernih. Namun bayangan saldo yang terus bertambah mengganggunya.

“Kalau aku nggak datang, dia mungkin berhenti kasih gift. Semua ini hilang. Semua perjuangan sia-sia.”

Di tengah kebimbangannya, terlintas satu kenangan: suara ibunya yang lembut, yang sering ia dengar setiap malam sebelum tidur.

“Nak, kalau ada yang kasih perhatian lebih, jangan mudah percaya. Nggak semua orang baik di luar sana. Ibu cuma punya kamu satu-satunya.”

Air mata Freya menggenang. Ia menatap langit-langit kamar, bercak rembesan hujan masih terlihat samar.

“Ibu, aku harus gimana?”

Keesokan harinya, Freya gelisah sejak pagi. Di tempat kerja, ia tak fokus. Setiap pelanggan yang datang membuatnya tersentak, takut kalau tiba-tiba Mr.Black muncul begitu saja.

Sintya sempat menegurnya. “Freya, kamu kenapa? Dari tadi salah-salah terus nyeken barang.”

Freya tersenyum kaku. “Capek aja…”

Jam dinding terasa bergerak lambat. Sore menjelang, dan waktu pertemuan yang disebut Mr.Black makin dekat.

Di sudut ruang, ponselnya bergetar. Pesan masuk.

“Aku udah di café. Aku duduk di pojok, pakai kemeja hitam. Aku tunggu ya…”

Freya menatap pintu keluar minimarket, tangannya gemetar. Di luar sana, langit mulai gelap, angin sore berhembus membawa udara dingin.

“Aku harus apa? Datang… atau kabur?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 10 – Janji Pertemuan

    Sore itu, langit Jakarta berwarna kelabu. Awan menggantung berat di atas gedung-gedung tua dan papan reklame lusuh yang berjejer di jalan raya. Udara lembap bercampur dengan bau asap kendaraan, membuat dada Freya terasa sesak. Dari balik kaca minimarket tempatnya bekerja, ia menatap jalan yang ramai. Satu jam lagi, ia harus membuat keputusan: menemui Mr.Black di café seberang, atau pura-pura tak melihat pesan yang menunggu di ponselnya.Sejak semalam, pikirannya dipenuhi bayangan pesan terakhir pria itu. Kalimat itu menempel di kepalanya, berulang-ulang, bagai suara gema yang tak bisa ia hentikan.Jantungnya berdetak cepat setiap kali pintu minimarket berbunyi karena pelanggan masuk. Matanya refleks menoleh, takut kalau-kalau pria itu sudah datang lebih awal.“Freya, kamu nggak apa-apa? Dari tadi muka kamu pucet,” tanya Sintya sambil merapikan rak minuman.Freya tersenyum kaku. “Aku cuma capek aja, Kak.”Padahal, tubuhnya baik-baik saja. Yang sakit justru pikirannya terus digelayuti

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 9 – Demi Ayah

    Malam itu, hujan turun deras membasahi Jakarta. Petir sesekali menggelegar, mengguncang langit yang kelam. Di dalam kontrakan mungil yang temboknya mulai berjamur, Freya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya. Pikirannya kalut, hatinya terhimpit rasa takut dan cemas yang bercampur menjadi satu.Dari balik pintu kamarnya yang setengah terbuka, terdengar suara batuk ayahnya. Batuk yang berat, panjang, seolah menguras seluruh tenaga pria tua itu.“Uhuk… uhuk… uhuk…”Freya bangkit, buru-buru menghampiri ruang tengah. Ia melihat ayahnya terbaring di kasur tipis, tubuhnya menggigil meski sudah diselimuti sarung lusuh. Ibunya duduk di sampingnya, memegangi punggung sang suami sambil mengelus pelan.“Freya, tolong ambilin air hangat, Nak,” pinta ibunya pelan, wajahnya penuh kekhawatiran.Freya mengangguk cepat, melangkah ke dapur kecil. Tangannya gemetar saat menuang air ke gelas. Hatinya serasa diremas. Ayahnya terlihat makin lemah, batuknya makin sering.“Obat… aku harus beli obat yang leb

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 8 – Ragu

    Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

    Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 6 – Wajah di Balik Layar

    Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 5 – Batas yang Menipis

    Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status