Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.
Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata? Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya? “Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…” Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajahnya kusam, rambutnya lepek. Sementara di live, berkat filter dan cahaya lampu murah, wajahnya lebih bersih, pipinya merona. “Aku nggak mau jadi bahan tertawaan. Kalau sampai ketemu fans, aku harus kelihatan mirip live.” ⸻ Paket-paket belanjaannya mulai berdatangan. Skincare dari merek yang sering ia lihat di iklan, lipstik warna natural, bedak ringan, serum penghilang noda hitam. Tak hanya itu, ia juga membeli alat catok murah untuk mencoba merapikan rambutnya yang mengembang. Namun satu hal tak ia duga: paket-paket itu hampir selalu datang siang hari, saat ia masih bekerja. Hari itu, pintu kontrakan diketuk kurir. Ibu Freya menghentikan aktivitas menjemur pakaian dan membukakan pintu. “Bu, ini paket untuk Freya ya. Banyak juga belanjaannya,” kata kurir sambil tersenyum, menyerahkan dua kotak kecil dan satu amplop besar. Ibu Freya mengangguk ragu. “Iya, Mas. Makasih ya…” Saat kurir pergi, ibu Freya memandangi paket-paket itu. Di salah satu kotaknya tertera merek skincare mahal. “Dari mana Freya punya uang buat beli beginian? Gaji dia kan cuma cukup buat makan sama kontrakan…” Ia meletakkan paket di meja, duduk termenung. Ada rasa bangga anaknya mau merawat diri, tapi juga rasa curiga yang tak bisa ia abaikan. ⸻ Sore harinya, Freya pulang dengan wajah lelah. Saat melihat paket-paket itu di meja, wajahnya seketika berubah gugup. “Ibu terima paketnya?” tanyanya pelan. “Iya, Nak. Kamu beli apaan aja sih? Banyak amat paket tiap hari…” Freya tersenyum canggung. “Itu murah-murah kok, Bu. Lagi promo besar-besaran. Aku kan sekarang mulai nabung buat beli skincare. Biar muka nggak kusam gini terus…” Ibu Freya diam, matanya menatap anaknya penuh tanya. “Nabung? Tapi bulan lalu aja kamu bilang uang mepet… sekarang bisa beli skincare? Jangan-jangan ada yang bantuin dia… tapi siapa?” Freya buru-buru membawa paket-paket itu ke kamar. Di dalam, ia duduk di depan cermin kecil. Tangannya gemetar membuka satu per satu isi paket. Sebotol serum kecil ia angkat, menatap wajahnya di cermin. “Aku harus lebih cantik. Aku harus kelihatan kayak di live. Jangan sampe orang liat aku terus bilang aku penipu…” Ia mengoles serum itu perlahan, mencoba membayangkan wajahnya berubah seperti di layar live streaming. ⸻ Hari-hari berikutnya, paket makin sering datang. Ibu Freya makin heran. Tiap kurir datang, ia pura-pura tersenyum, tapi di dalam hati ia makin gelisah. Malam hari, ibu Freya sering terjaga. Ia duduk termenung di ruang depan, memandangi pintu kamar Freya yang selalu tertutup rapat. “Kenapa anakku tiba-tiba berubah begini? Apa dia sembunyiin sesuatu? Siapa yang ngasih dia uang sebanyak itu?” Sementara itu, Freya makin terjebak. Ia tahu, belanja terus-menerus bukan solusi, tapi ketakutannya lebih besar. “Kalau sampai ada yang lihat aku di jalan dan sadar aku beda, habis aku… aku bisa dihina. Aku bisa kehilangan semua.” Di tempat kerja, gosip makin ramai. Teman-temannya makin sering menyindir. “Freya, glowing banget sekarang. Wah, ada yang sponsorin nih?” goda Sintya. Freya hanya tersenyum hambar. Malam itu, pesan MrBlack muncul di layar ponsel. “Aku suka lihat kamu makin cantik. Kamu cocok rawat diri. Aku suka bantu kamu.” “Besok aku kirimin kamu sesuatu lagi.” Ibu Freya duduk di ruang depan, menggenggam nota bekas paket yang ia simpan diam-diam. Matanya menatap kamar Freya penuh tanya. “Aku harus tahu, Nak… apa yang kamu sembunyikan?”Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah
Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar
Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah
Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b
Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu
Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak