Home / Rumah Tangga / SIMPANAN OM-OM / Bab 5 – Batas yang Menipis

Share

Bab 5 – Batas yang Menipis

Author: Rae Jasmine
last update Huling Na-update: 2025-06-23 19:45:06

Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada.

Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini.

“Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack.

“Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir.

Freya pura-pura sibuk merapikan barang. Wajahnya memanas, matanya berkaca-kaca, tapi ia tahan. “Aku nggak boleh nangis di sini. Jangan kasih mereka alasan buat ngeledek aku lagi,” batinnya.

Saat istirahat, Sintya mendekatinya dengan senyum yang sulit diartikan—antara ramah dan penuh sindiran. “Freya, kok akhir-akhir ini kamu diem banget?”

Freya mengangkat bahu, berusaha tersenyum. “Capek aja, Sintya.”

“Capek live, ya?” bisik Sintya, nadanya penuh arti. “Hati-hati, lho. Dunia kayak gitu tuh banyak yang bahaya. Apalagi kalau ada om-om mulai ngasih perhatian lebih…”

Freya hanya menunduk, tak sanggup menjawab. Ia tahu, membantah hanya akan membuat gosip itu makin liar.

Sepulang kerja, hujan kembali turun. Freya menunduk, jaket tipisnya tak cukup menghalau dingin. Di sepanjang jalan, bayangan kekhawatiran terus mengikutinya. Setiap langkah kakinya diikuti rasa seolah ada yang mengawasi dari kejauhan. Beberapa kali ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa selain gelap, hujan, dan lampu jalan yang temaram.

“Freya, kamu cuma capek. Jangan mikir yang aneh-aneh…”

Sampai di kontrakan, ibunya sudah menunggunya di depan pintu dengan tatapan cemas. “Nak, kamu basah kuyup begini, kenapa nggak bawa payung?”

Freya memaksakan senyum. “Nggak nyangka hujan lagi, Bu. Maaf ya.”

Ibunya mengusap kepala Freya yang basah. “Cepet ganti baju. Jangan sampe sakit.”

Malam itu setelah makan malam seadanya dengan nasi telur dadar dan sambal tomat, Freya masuk ke kamarnya. Di sana, ponselnya berkedip-kedip. Pesan dari MrBlack menunggu di layar.

“Kamu nggak live malam ini? Aku tunggu, lho. Aku suka lihat kamu.”

“Besok aku mau kirim kamu sesuatu. Boleh aku tahu alamat kamu?”

Pesan itu membuat Freya terdiam. Jantungnya berdebar. Ia memandang layar ponsel lama sekali, seolah berharap huruf-huruf itu hilang dengan sendirinya. Jemarinya mulai mengetik, tapi ragu.

“Kalau aku kasih alamat, bisa bahaya. Tapi kalau aku nggak kasih, dia kecewa, berhenti kasih gift. Kalau berhenti… aku kehilangan kesempatan bantu Bapak, Ibu…”

Tangannya gemetar. Ia ketik:

“Maaf, aku nggak bisa kasih alamat. Terima kasih ya perhatiannya.”

Namun sebelum dikirim, ia hapus lagi. Tak sanggup. Ponsel ia letakkan di bantal, lalu ia rebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang penuh bercak air rembesan hujan.

“Apa yang aku lakukan ini salah? Atau aku cuma terlalu takut?”

Di luar kamar, suara batuk ayahnya terdengar, membuat Freya menahan air mata. “Aku cuma mau mereka sehat, hidup tenang… apa aku salah?”

Di tempat lain, MrBlack sedang menatap layar ponselnya dengan penuh rencana. Ia menggeser layar sambil menatap foto-foto live Freya, lalu menekan nomor seseorang.

“Tolong cari tahu cewek ini ya tinggal di mana. Aku mau kasih dia kejutan. Tapi jangan bikin dia curiga.”

Malam itu hujan belum berhenti. Dan Freya, dalam gelap kamarnya, tak tahu bahwa permainan ini baru saja dimulai.

Keesokan paginya, saat Freya membuka pintu kontrakan untuk berangkat kerja, sebuah kotak kecil tergeletak di depan pintu. Terbungkus rapi dengan kertas berwarna biru, ada secarik kertas kecil bertuliskan:

“Untuk Freya.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 8 – Ragu

    Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 7 – Pertemuan yang Ditakutkan

    Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 6 – Wajah di Balik Layar

    Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 5 – Batas yang Menipis

    Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 4 – Dilema Sebagai Anak

    Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu

  • SIMPANAN OM-OM   Bab 3 – Masih Menjadi Rahasia Freya

    Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status