Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada.
Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan barang. Wajahnya memanas, matanya berkaca-kaca, tapi ia tahan. “Aku nggak boleh nangis di sini. Jangan kasih mereka alasan buat ngeledek aku lagi,” batinnya. Saat istirahat, Sintya mendekatinya dengan senyum yang sulit diartikan—antara ramah dan penuh sindiran. “Freya, kok akhir-akhir ini kamu diem banget?” Freya mengangkat bahu, berusaha tersenyum. “Capek aja, Sintya.” “Capek live, ya?” bisik Sintya, nadanya penuh arti. “Hati-hati, lho. Dunia kayak gitu tuh banyak yang bahaya. Apalagi kalau ada om-om mulai ngasih perhatian lebih…” Freya hanya menunduk, tak sanggup menjawab. Ia tahu, membantah hanya akan membuat gosip itu makin liar. Sepulang kerja, hujan kembali turun. Freya menunduk, jaket tipisnya tak cukup menghalau dingin. Di sepanjang jalan, bayangan kekhawatiran terus mengikutinya. Setiap langkah kakinya diikuti rasa seolah ada yang mengawasi dari kejauhan. Beberapa kali ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa selain gelap, hujan, dan lampu jalan yang temaram. “Freya, kamu cuma capek. Jangan mikir yang aneh-aneh…” Sampai di kontrakan, ibunya sudah menunggunya di depan pintu dengan tatapan cemas. “Nak, kamu basah kuyup begini, kenapa nggak bawa payung?” Freya memaksakan senyum. “Nggak nyangka hujan lagi, Bu. Maaf ya.” Ibunya mengusap kepala Freya yang basah. “Cepet ganti baju. Jangan sampe sakit.” Malam itu setelah makan malam seadanya dengan nasi telur dadar dan sambal tomat, Freya masuk ke kamarnya. Di sana, ponselnya berkedip-kedip. Pesan dari MrBlack menunggu di layar. “Kamu nggak live malam ini? Aku tunggu, lho. Aku suka lihat kamu.” “Besok aku mau kirim kamu sesuatu. Boleh aku tahu alamat kamu?” Pesan itu membuat Freya terdiam. Jantungnya berdebar. Ia memandang layar ponsel lama sekali, seolah berharap huruf-huruf itu hilang dengan sendirinya. Jemarinya mulai mengetik, tapi ragu. “Kalau aku kasih alamat, bisa bahaya. Tapi kalau aku nggak kasih, dia kecewa, berhenti kasih gift. Kalau berhenti… aku kehilangan kesempatan bantu Bapak, Ibu…” Tangannya gemetar. Ia ketik: “Maaf, aku nggak bisa kasih alamat. Terima kasih ya perhatiannya.” Namun sebelum dikirim, ia hapus lagi. Tak sanggup. Ponsel ia letakkan di bantal, lalu ia rebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang penuh bercak air rembesan hujan. “Apa yang aku lakukan ini salah? Atau aku cuma terlalu takut?” Di luar kamar, suara batuk ayahnya terdengar, membuat Freya menahan air mata. “Aku cuma mau mereka sehat, hidup tenang… apa aku salah?” ⸻ Di tempat lain, MrBlack sedang menatap layar ponselnya dengan penuh rencana. Ia menggeser layar sambil menatap foto-foto live Freya, lalu menekan nomor seseorang. “Tolong cari tahu cewek ini ya tinggal di mana. Aku mau kasih dia kejutan. Tapi jangan bikin dia curiga.” Malam itu hujan belum berhenti. Dan Freya, dalam gelap kamarnya, tak tahu bahwa permainan ini baru saja dimulai. Keesokan paginya, saat Freya membuka pintu kontrakan untuk berangkat kerja, sebuah kotak kecil tergeletak di depan pintu. Terbungkus rapi dengan kertas berwarna biru, ada secarik kertas kecil bertuliskan: “Untuk Freya.”Sore itu, langit Jakarta berwarna kelabu. Awan menggantung berat di atas gedung-gedung tua dan papan reklame lusuh yang berjejer di jalan raya. Udara lembap bercampur dengan bau asap kendaraan, membuat dada Freya terasa sesak. Dari balik kaca minimarket tempatnya bekerja, ia menatap jalan yang ramai. Satu jam lagi, ia harus membuat keputusan: menemui Mr.Black di café seberang, atau pura-pura tak melihat pesan yang menunggu di ponselnya.Sejak semalam, pikirannya dipenuhi bayangan pesan terakhir pria itu. Kalimat itu menempel di kepalanya, berulang-ulang, bagai suara gema yang tak bisa ia hentikan.Jantungnya berdetak cepat setiap kali pintu minimarket berbunyi karena pelanggan masuk. Matanya refleks menoleh, takut kalau-kalau pria itu sudah datang lebih awal.“Freya, kamu nggak apa-apa? Dari tadi muka kamu pucet,” tanya Sintya sambil merapikan rak minuman.Freya tersenyum kaku. “Aku cuma capek aja, Kak.”Padahal, tubuhnya baik-baik saja. Yang sakit justru pikirannya terus digelayuti
Malam itu, hujan turun deras membasahi Jakarta. Petir sesekali menggelegar, mengguncang langit yang kelam. Di dalam kontrakan mungil yang temboknya mulai berjamur, Freya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya. Pikirannya kalut, hatinya terhimpit rasa takut dan cemas yang bercampur menjadi satu.Dari balik pintu kamarnya yang setengah terbuka, terdengar suara batuk ayahnya. Batuk yang berat, panjang, seolah menguras seluruh tenaga pria tua itu.“Uhuk… uhuk… uhuk…”Freya bangkit, buru-buru menghampiri ruang tengah. Ia melihat ayahnya terbaring di kasur tipis, tubuhnya menggigil meski sudah diselimuti sarung lusuh. Ibunya duduk di sampingnya, memegangi punggung sang suami sambil mengelus pelan.“Freya, tolong ambilin air hangat, Nak,” pinta ibunya pelan, wajahnya penuh kekhawatiran.Freya mengangguk cepat, melangkah ke dapur kecil. Tangannya gemetar saat menuang air ke gelas. Hatinya serasa diremas. Ayahnya terlihat makin lemah, batuknya makin sering.“Obat… aku harus beli obat yang leb
Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah
Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar
Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah
Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b