Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.
Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya. “Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya. Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya. “Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?” Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya. “Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati. Tapi ia sendiri tahu jawabannya. 1. Karena aku takut mereka salah paham. Takut mereka kira aku masuk dunia nggak benar, padahal aku cuma ngobrol di depan kamera. 2. Karena aku belum yakin ini jalan yang baik. Kalau aku gagal, aku bisa berhenti tanpa mereka perlu kecewa. Tapi kalau aku berhasil… baru aku cerita, supaya mereka bangga. 3. Karena aku cuma pengen bantu mereka, tanpa bikin mereka makin sedih. Freya menunduk, air matanya menetes diam-diam. Ia hapus cepat, lalu memandang layar ponsel lagi. Pesan terakhir dari MrBlack: “Kamu live lagi besok, kan? Aku akan nonton.” Pesan itu singkat, tapi cukup membuat dada Freya berdebar. Ia bukan gadis yang terbiasa diperhatikan, apalagi oleh pria asing. Ia membalas pelan: “Iya… besok aku coba live lagi. Terima kasih ya…” Tak lama, MrBlack membalas dengan emoji senyum dan ikon gift. Freya mematikan layar ponsel. Malam itu, sebelum tidur, ia menulis angka-angka lagi di selembar kertas robekan dari buku nota lama. * Gaji kasir: habis untuk makan, kontrakan, ongkos. * Live satu jam: sudah dapat setara setengah gaji. “Kalau aku tekun, aku bisa lunasin utang kontrakan. Bapak bisa beli obat lebih baik. Ibu nggak usah ngirit terus. Masa aku nggak berani ambil kesempatan ini?” ⸻ Keesokan harinya, Freya berangkat kerja seperti biasa. Supervisor minimarket yang galak menyindir soal izin setengah hari kemarin. “Jangan sering-sering ya, Freya. Susah kalau tenaga kita kurang.” Freya hanya mengangguk, menahan diri. Sepanjang hari pikirannya melayang ke sore nanti: live kedua. Pulang kerja, ia membantu ibunya menyiapkan makan malam seadanya: nasi, telur dadar, dan sambal. Saat makan bersama, ibunya sempat menatap Freya lama-lama. “Nak, Ibu minta satu aja. Kamu jaga diri ya. Jangan aneh-aneh, jangan percaya sama orang sembarangan.” Freya menahan tangis. “Iya, Bu… aku janji.” Setelah semua tidur, Freya kembali duduk di depan ponsel. Ia memulai live kedua. Jantungnya berdebar lebih kencang daripada kemarin. Tapi ia sudah belajar sedikit: menyapa penonton lebih lancar, menjawab chat dengan senyum lebih lepas. Penonton perlahan bertambah. Komentar mengalir. “Kak Freya makin cantik malam ini.” “Senyum Kak Freya bikin betah.” Dan seperti yang ditunggu-tunggu, ikon gift besar muncul lagi. Kali ini bentuknya motor sport animasi. Nama pengirimnya: MrBlack. “Terima kasih banyak, MrBlack…” suara Freya terdengar tulus tapi gemetar. Kolom chat heboh lagi. “Wah, MrBlack muncul!” “MrBlack sultan..!” Freya mulai menikmati obrolan. Ia menceritakan hal-hal sederhana: soal hujan yang turun sore itu, soal makanan favoritnya waktu kecil. Ia tertawa kecil saat membaca komentar lucu penonton. Waktu terasa begitu cepat. Satu jam berlalu. Saat live berakhir, Freya menatap rekap yang muncul di layar: jumlah gift lebih banyak dari sebelumnya. Namun sebelum ia mematikan ponsel, pesan dari MrBlack muncul: “Besok aku mau kirim kamu sesuatu. Boleh aku tahu alamat kamu?” Freya membeku. Tangannya gemetar. Otaknya penuh tanya: Kenapa dia ingin tahu alamatku? Apa aku harus jawab? Apa ini awal masalah? Tangannya hampir mengetik jawaban, tapi ia berhenti. Di balik pintu, terdengar suara ibunya terbatuk kecil, mungkin terbangun. Freya mendekap ponselnya, menatap langit-langit kamar. Hatinya berperang. Antara ingin terus menuruti jalan baru ini, atau berhenti sebelum terlalu jauh. Di balik layar, MrBlack tersenyum tipis menatap ponselnya. “Aku akan buat dia makin butuh aku… pelan-pelan saja deh…”Langit Jakarta mulai menggelap, dan angin sore berhembus membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis yang turun sejak siang. Di dalam minimarket, Freya berdiri mematung di balik rak, menatap ke arah pintu kaca. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu tak beraturan.“Dia beneran nunggu di luar sana? Kalau aku keluar… gimana kalau dia maksa? Tapi kalau aku kabur, dia marah… berhenti kasih gift…”Kemudian ponselnya kembali bergetar di saku. Dengan tangan yang gemetar, Freya mencoba mengintip layar.“Aku di pojok, meja deket jendela. Café sebelah minimarket. Kamu di mana?”Freya menelan ludah. Tak sanggup membalas, hanya memandangi pesan itu lama. Ia merasa terjebak di persimpangan yang tak pernah ia bayangkan.Ia langsung menghela napas panjang, lalu memberanikan diri melangkah keluar dari kasir. “Kak, aku keluar sebentar ya. Ada keperluan mendadak,” bisiknya pada rekan kerja.Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar minimarket. Sore itu, jalanan lengang. Café kecil di sebelah
Seminggu berlalu sejak Freya pertama kali menerima paket misterius dari Mr.Black. Seminggu pula ia semakin dalam tenggelam di dunia live streaming yang semula hanya ingin dicoba. Setiap malam, setelah pulang kerja dan berpura-pura lelah di depan ibunya, Freya akan mengunci diri di kamar. Di balik pintu kayu tipis itu, hidupnya terasa berbeda.Kini, jumlah penonton live streaming-nya makin banyak. Semakin sering ia muncul, semakin sering pula notifikasi gift berdatangan. Warna-warni animasi gift memenuhi layar ponselnya. Ada yang mengirimkan bunga virtual, mobil sport, bahkan rumah impian yang konon bernilai mahal di aplikasi itu.Dan di antara semua itu, satu nama paling sering muncul di daftar gift: Mr.Black.Setiap kali Mr.Black hadir di room live-nya, Freya merasa campuran antara bangga, senang, dan… takut. Gift dari pria itu selalu luar biasa besar. Kadang satu malam, jumlah gift dari Mr.Black cukup untuk membayar kontrakan dua bulan, membeli sembako, dan menyisihkan untuk skincar
Jakarta siang itu terasa pengap. Langit berwarna kelabu, seolah menambah beban pikiran Freya yang baru saja selesai shift siangnya di minimarket. Tubuhnya letih, tetapi pikirannya terus sibuk.Setiap langkah menuju kontrakan membuatnya cemas. Bukan hanya karena lelah, tetapi karena satu ketakutan baru: bagaimana jika suatu hari ada yang mengenalinya di dunia nyata?Sejak live streaming-nya makin ramai, Freya makin sadar bahwa wajahnya—meski tersamarkan filter—telah dilihat ribuan mata. Ada saja yang memuji, ada juga yang berkomentar genit. Di antara mereka, siapa tahu ada yang tinggal tak jauh darinya?“Kalau aku ketemu mereka di jalan, gimana? Mereka pasti kaget liat aku beda banget sama di live…”Pikiran itu terus menghantuinya. Maka, sejak beberapa hari lalu, Freya mulai memberanikan diri membeli skincare dan kosmetik. Setiap malam ia membandingkan wajahnya di cermin dengan wajahnya di layar ponsel saat live. Perbedaan itu nyata. Di dunia nyata, jerawat kecil masih terlihat, wajah
Hujan turun sejak sore tadi, membasahi jalanan Jakarta yang sudah becek dan kotor. Genangan air bercampur tanah membuat langkah Freya semakin pelan saat menyusuri gang sempit menuju kontrakan. Bau sampah dari tong-tong yang tergeletak di pinggir jalan. Langkahnya berat, bukan hanya karena sepatu ketsnya basah kuyup, tapi juga karena beban pikiran yang makin menyesakkan dada. Sejak pagi, suasana di minimarket tak lagi sama. Tatapan teman-temannya terasa menusuk, seolah mereka tahu sesuatu yang selama ini Freya simpan rapat-rapat. Bisik-bisik, lirikan, dan gumaman yang seakan sengaja dibuat terdengar menjadi makanan telinganya seharian ini. “Eh, kamu liat nggak? Itu loh akun live yang dikirim di grup kemarin. Mukanya mirip banget sama Freya, ya?” suara seorang teman terdengar saat Freya lewat di belakang rak snack. “Iya, aku juga liat sih. Beda banget mukanya di kamera sama di sini. Di kamera cantik banget, ya?” sahut yang lain dengan nada mencibir. Freya pura-pura sibuk merapikan b
Malam itu, angin lembab dari sela-sela jendela kontrakan berhembus pelan. Freya duduk bersila di atas kasur tipisnya, menatap layar ponsel yang berkedip menandakan notifikasi masuk. Pesan dari MrBlack, admin agensi, dan beberapa penonton yang follow setelah live pertama memenuhi layar.Tangannya mengusap wajah. Wajah yang barusan dibasuh dengan air dingin, seolah ingin membersihkan semua rasa bersalah yang menempel di hatinya.“Aku harus bagaimana? Apa ini benar?” batinnya.Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sudah terlelap. Di bawah remang lampu bohlam, Freya bisa melihat garis-garis lelah di wajah ibunya. Ayahnya batuk pelan dalam tidurnya.“Andai mereka tahu aku tadi ngapain… apa mereka marah? Apa mereka kecewa?”Freya menarik napas panjang. Ia ingat betul pandangan ibunya sore tadi, penuh curiga tapi juga penuh kasih. Ibu yang tak pernah marah, tapi hatinya selalu bisa membaca gelagat putrinya.“Kenapa aku nggak bilang jujur aja?” tanyanya dalam hati.Tapi ia sendiri tahu
Hujan rintik masih turun membasahi atap seng kontrakan petakan itu ketika Freya mematikan aplikasi live streamingnya. Jantungnya masih berdebar keras, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Ia menatap angka gift dan jumlah penonton yang baru saja menyaksikan siaran perdananya.Di sudut kamar, ponselnya terus bergetar dengan pesan-pesan dari admin agensi:“Keren banget Kak Freya, MrBlack sudah jadi donatur tetap nih!”Freya tersenyum tipis. Namun kegembiraannya mendadak hilang ketika mendengar suara ibunya memanggil dari luar.“Freya? Kamu sudah pulang?” Suara ibunya terdengar heran.Freya tersentak. Ia lupa menutup pintu kamar rapat-rapat. Suara kecilnya saat live, sapaan dan tawa gugupnya, ternyata terdengar sampai ruang depan.“Iya, Bu…” jawab Freya cepat. Ia buru-buru merapikan posisi ponsel dan selimut, mencoba menutupi keberadaan aplikasi di layar.Ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar, menatap putrinya dengan wajah penuh tanya. “Kok kamu di kamar dari tadi? Kamu nggak