All Chapters of Tawanan Mafia Mesum : Chapter 111 - Chapter 120

Kehidupan Hazel mulai terasa berbeda, ia memang menginginkan kehidupan normalnya kembali, tapi ia baru sadar bahwa kehidupan normal yang ia inginkan itu ternyata membosankan. Sudah dua hari ia tinggal di apartemen Jacob, Hazel melihat pantulan tubuhnya yang hanya mengenakan celana pendek serta tanktop hitam. Tatapannya menelusuri tubuhnya sendiri, memar di tubuhnya perlahan sudah mulai samar, tapi bekas luka tusukan itu masih terasa nyeri saat ia gunakan untuk bergerak. "Kalau sampai Jacob tau aku terluka seperti ini, dia pasti akan menginterogasi diriku." batinnya, perlahan melepaskan perban luka dan bekas tusukan itu masih biru kemerahan. Hazel duduk di ujung tempat tidur, perlahan membuka perban yang membalut lukanya. Sedikit darah masih menempel di sisi kain putih itu, dan ia mengamati luka itu lekat-lekat, seolah luka tersebut bisa memberinya jawaban mengapa hidupnya berubah drastis. Dengan hati-hati, ia membersihkan bekas luka menggunakan larutan antiseptik, lalu menggantinya

Selama beberapa waktu, Xavier memang tidak memantau Hazel, ia hanya menyuruh seseorang untuk menjaga perempuan itu dari kejauhan. Tapi selama salju mulai turun, Xavier sudah tidak mendapatkan kabar apapun lagi.Hari ini, ia melihat kamera tersembunyi di apartemen Hazel yang sempat ia pasang. Tapi semenjak Hazel kembali ke New York, perempuan itu tidak pernah masuk ke dalam apartemen itu lagi hingga sekarang.Tapi bukan Xavier namanya kalau hanya diam, Hazel pasti tinggal di apartemen Jacob. Dengan kemampuan yang Xavier punya, ia mengakses secara ilegal kamera pengawas di gedung tempat tinggal Hazel saat ini."Kau tau kalau aku bisa memantau dirimu di apartemen lama, karena itulah sekarang kau pindah ke apartemen saudara laki-lakimu." senyum tipis terukir di bibir Xavier, setidaknya ia lega melihat kondisi Hazel baik-baik saja.Baru pertama kali dalam hidupnya, ia tak bisa melepaskan seseorang meskipun tau orang itu telah mengkhianatinya. Xavier menghela nafas dalam-dalam, ia kembali me

Salju perlahan mulai mencair, menyisakan genangan tipis di sela-sela trotoar dan suara gemeretak lembut di bawah setiap langkah kaki. Angin musim dingin masih menyelinap di antara gedung-gedung tinggi, namun sinar mentari musim semi sudah mulai terasa hangat di kulit.Di antara keramaian kota yang mulai kembali sibuk, langkah Xavier terdengar mantap menapaki trotoar yang licin. Jas hitamnya berkibar ringan ditiup angin, dan satu tangan menggenggam ponsel di telinganya.“Bagaimana laporan terakhir dari mata-mata kita di perbatasan?” tanyanya tenang namun penuh tekanan.Suara pria di seberang terdengar ragu, namun tetap profesional. “Masih dalam pemantauan, Sir. Untuk saat ini, belum ada pergerakan signifikan dari dalam markas. Tempat itu sangat tertutup... dan dua anak buah kita telah tertangkap saat mencoba menyusup ke dalam.”Langkah Xavier melambat. Ia berdiri di pinggir jalan, matanya menyapu pandangan ke seberang sebelum melanjutkan, “Teruskan pengawasan. Jangan gegabah, tapi janga

Hazel membawa Tristan ke apartemennya, apartemen yang sudah sekitar empat bulan lebih tidak ia tinggali semenjak ia pulang dari Italia. Hazel yakin, kamera tersembunyi yang Xavier pasang di sana masih berfungsi, dan Hazel perlu memastikan sesuatu apakah kamera itu bisa membantunya bertemu dengan Xavier atau tidak?Ia tau, cara ini cukup bermasalah untuk Tristan kalau sampai Xavier marah, tapi tidak ada cara lain. Hazel sudah mencoba cukup banyak cara untuk bisa menghubungi Xavier, bahkan ia telah meminta George Davis untuk menghubungi Xavier melalui ponselnya, tapi begitu Xavier mendengar suara Hazel, pria itu langsung memutuskan sepihak.Tristan mengerutkan dahi saat mereka melangkah masuk. “Hazel, ini apartemen siapa? Kenapa aku merasa seperti masuk ke sarang orang lain?”Hazel menutup pintu dan menyalakan lampu ruangan. “Ini apartemenku. Tempat yang aku tinggali sebelumnya, itu apartemen milik Jacob. Aku hanya ingin mengecek sesuatu di sini.”Tristan berjalan ke rak buku, jari-jarin

Hazel tak merasakan luka di telapak tangannya, bahkan ketika darah mengalir dan menodai gelas yang pecah. Ia baru tersadar saat tepukan cemas mendarat di bahunya."Hazel, tanganmu berdarah!" seru Marco dengan panik.Hazel menoleh pelan, matanya kosong. "Hanya luka kecil, aku akan membersihkannya." ujarnya datar, lalu melangkah pergi menuju toilet.Di dalam ruangan berlampu pucat, Hazel menyalakan keran air. Suara gemericik menenggelamkan pikirannya yang riuh. Air dingin menyentuh luka di tangannya, membawa nyeri yang akhirnya membuatnya sadar bahwa ia benar-benar terluka, meski luka di hatinya terasa jauh lebih dalam.Ia hanya menghela nafas dalam, ia telah melakukan kebodohan sampai harus menyusul Xavier sejauh ini.Harusnya ia sudah paham, delapan bulan tanpa komunikasi adalah cara Xavier melupakannya, tapi ia yang bodoh ini tetap nekat bertemu dengan pria itu hanya untuk melihat pemandangan menyebalkan.Bahkan air matanya pun enggan menetes, walaupun hatinya terasa seperti diremas