Kulit mereka saling bersentuhan, setiap gesekan menciptakan melodi yang hanya bisa mereka rasakan. Hubungan ini seakan seperti jebakan yang memerangkap kehidupan mereka, dalam waktu singkat semuanya tidak lagi sama.Hazel memejamkan mata, menyerahkan diri pada badai sensasi yang melanda. Setiap tarikan nafas, setiap desahan rendah Xavier yang menggema di telinganya, setiap gerakan yang mengguncang kesadarannya, semuanya ia simpan dalam memori, seperti harta karun yang tak akan pernah lapuk.Dan ketika matanya terbuka, dunia seakan berhenti berputar. Xavier tampak mempesona bagai dewa yang turun dari khayalan, rambutnya basah oleh keringat yang mengkilat di bawah cahaya redup, bibirnya menggoda dalam setengah rintih, wajahnya memancarkan hasrat yang tak terbendung."Akh, Xavier..." desis Hazel, suaranya parau oleh nafsu yang menggunung. Jari-jarinya mencengkram lengan Xavier dengan kekuatan yang mengisyaratkan keputusasaan, sementara tangan satunya meremas sprei hingga berkerut, seakan
Cukup lama Hazel berada dalam dekapan Xavier, setiap kata dan kalimat yang pria ini ucapkan bagaikan pisau yang menusuknya lebih dalam. Secara harfiah, Xavier tidak ingin ia terluka. Xavier hanya ingin ia menjauh dari bahaya, tapi entah kenapa itu malah membuatnya sulit melepaskan.Dengan berat hati, Hazel mengurai pelukan itu. Ia mendongak sedikit, menatap wajah Xavier dari jarak dekat, berusaha menangkap sisa-sisa kejujuran yang tersembunyi di balik tatapan dingin dan keras yang begitu familiar."Apa kau benar-benar baik-baik saja dengan semua ini?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.Xavier menatapnya sebentar, lalu mengangguk mantap. "Aku sudah terbiasa. Dunia yang kutinggali memang tidak mengenal damai, Hazel. Kekacauan adalah sarapanku setiap pagi."Hazel menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya. Tapi ia tak bisa menahan satu pertanyaan yang sejak lama terpendam."Setelah George tahu bahwa… bahwa kau yang membunuh Tyler, apa kau mendapat sanksi darinya?"Senyuman tipis terukir d
Jangankan pergi, Xavier bahkan tidak bergeming. Tubuhnya seperti tertancap di tempat, dan matanya tak lepas sedikit pun dari wajah Hazel. Di balik tatapannya, ada kalimat yang tak terucapkan. Ia tahu Hazel marah. Delapan bulan bukan waktu yang sebentar untuk dibiarkan menggantung tanpa kabar, dan kini, pertemuan mereka bukan seperti kisah reuni yang manis, melainkan luka yang dijahit ulang."Pergi dari sini, Xavier," bisik Hazel lirih, nyaris tanpa tenaga, namun sarat emosi yang menahan diri dari ledakan.Xavier menarik nafas dalam-dalam. "Aku tahu kau marah… tapi aku harus menjelaskan satu hal. Aku dan Ella, kami tidak memiliki hubungan apapun."Hazel mendongak, tatapannya tajam. "Menarik. Kau juga pernah mengatakan hal yang sama padaku." Nada suaranya dingin, getir. "Dan lihat di mana kita sekarang, Xavier. Kau berdiri dihadapanku, mencoba menjelaskan sesuatu yang bahkan sudah tidak pantas dijelaskan lagi.""Aku tidak punya pilihan," suara Xavier lebih dalam sekarang, ada dentuman em
Hazel tak merasakan luka di telapak tangannya, bahkan ketika darah mengalir dan menodai gelas yang pecah. Ia baru tersadar saat tepukan cemas mendarat di bahunya."Hazel, tanganmu berdarah!" seru Marco dengan panik.Hazel menoleh pelan, matanya kosong. "Hanya luka kecil, aku akan membersihkannya." ujarnya datar, lalu melangkah pergi menuju toilet.Di dalam ruangan berlampu pucat, Hazel menyalakan keran air. Suara gemericik menenggelamkan pikirannya yang riuh. Air dingin menyentuh luka di tangannya, membawa nyeri yang akhirnya membuatnya sadar bahwa ia benar-benar terluka, meski luka di hatinya terasa jauh lebih dalam.Ia hanya menghela nafas dalam, ia telah melakukan kebodohan sampai harus menyusul Xavier sejauh ini.Harusnya ia sudah paham, delapan bulan tanpa komunikasi adalah cara Xavier melupakannya, tapi ia yang bodoh ini tetap nekat bertemu dengan pria itu hanya untuk melihat pemandangan menyebalkan.Bahkan air matanya pun enggan menetes, walaupun hatinya terasa seperti diremas
“Kau yakin akan pergi mengejar pria yang bahkan tidak memberi kabar selama delapan bulan? Hazel... satu bulan lagi, kalau kau hamil, kau mungkin sudah melahirkan.”Tristan menjatuhkan tubuhnya ke sofa sambil menyilangkan kaki, ekspresinya antara cemas dan tidak habis pikir, sementara Hazel terus sibuk melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.Hazel menghentikan gerakannya sejenak, lalu menarik nafas dalam. “Tristan, tolong… berhenti ceramah. Aku sudah cukup lama menunggu. Delapan bulan aku memberi waktu, dan tidak ada satupun jejak darinya. Jadi, aku pergi bukan karena gegabah, aku pergi karena ini satu-satunya jalan.”Tristan menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangan di dada. “Sayang sekali... padahal aku baru mau bilang kalau bulan depan aku juga akan pergi liburan. Tapi kau malah meninggalkanku duluan. Apa tidak bisa menunda saja sampai aku pergi?”Hazel mengangkat alis. “Menurutmu aku harus menunggu lebih lama hanya untuk patah hati di tempat yang sama? Aku sudah te
Hazel membawa Tristan ke apartemennya, apartemen yang sudah sekitar empat bulan lebih tidak ia tinggali semenjak ia pulang dari Italia. Hazel yakin, kamera tersembunyi yang Xavier pasang di sana masih berfungsi, dan Hazel perlu memastikan sesuatu apakah kamera itu bisa membantunya bertemu dengan Xavier atau tidak?Ia tau, cara ini cukup bermasalah untuk Tristan kalau sampai Xavier marah, tapi tidak ada cara lain. Hazel sudah mencoba cukup banyak cara untuk bisa menghubungi Xavier, bahkan ia telah meminta George Davis untuk menghubungi Xavier melalui ponselnya, tapi begitu Xavier mendengar suara Hazel, pria itu langsung memutuskan sepihak.Tristan mengerutkan dahi saat mereka melangkah masuk. “Hazel, ini apartemen siapa? Kenapa aku merasa seperti masuk ke sarang orang lain?”Hazel menutup pintu dan menyalakan lampu ruangan. “Ini apartemenku. Tempat yang aku tinggali sebelumnya, itu apartemen milik Jacob. Aku hanya ingin mengecek sesuatu di sini.”Tristan berjalan ke rak buku, jari-jarin