All Chapters of Malam Pertama Penuh Gairah Bersama Cucu Presdir: Chapter 51 - Chapter 60

"Aku ingatkan sekali lagi, jangan terlalu sering berhubungan dengannya,” kata Rafael, tatapannya menusuk. “Aku tidak suka.”Hanna menghela napas, menatap suaminya lekat. “Kenapa kamu harus ikut campur? Bukankah jelas tertulis dalam draft kontrak kita, kita tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing?” ucap Hanna berani meski jarak keduanya teramat dekat, dengan napas Rafael yang bisa ia rasakan begitu hangat. Jawaban itu membuat rahang Rafael mengeras. Hening menegangkan merambat di antara mereka.“Kontrak bisa aku abaikan kalau menyangkut keselamatanmu,” balas Rafael akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Atau kalau menyangkut perasaan yang … tidak seharusnya kamu bagikan dengan lelaki lain.”Kata perasaan membuat Hanna tercekat. Ia ingin membalas, tapi lidahnya kelu. Ada sesuatu dalam tatapan Rafael yang berbeda—campuran marah, takut, dan … mungkinkah cemburu? Hanna menggigit bibir, semakin bingung dengan sikap suaminya. Lelaki ini bisa begitu dingin, namun di saat lain sep

Sejak pertemuan dengan Juan dan Jenni, Rafael semakin menyadari bahwa lingkaran masalah di sekelilingnya kian rapat. Darma bukan lagi musuh Hanna, lelaki tua itu juga kini harus menghadapi dirinya sebagai suami dari wanita yang tengah diincar. Darma benar-benar mulai menargetkan Hanna, dan itu tak bisa Rafael biarkan.Di ruang kerjanya malam itu, Rafael duduk bersama Reno, salah satu orang kepercayaannya. Di meja, berjejer foto-foto hasil investigasi termasuk rekaman CCTV. Di wajah para preman itu terlihat, hingga dokumen transaksi ilegal yang melibatkan Darma sebagai otak di balik kejahatan itu semua.“Dia sudah terlalu jauh,” gumam Rafael dengan suara berat. “Kali ini, aku yang akan bertindak.”Reno menunduk hormat. “Apa perintah Anda, Pak?”“Teruskan penyelidikan. Cari siapa saja orang yang Darma pakai untuk menjalankan aksinya. Aku ingin semua nama itu ada di meja kerjaku sebelum minggu ini berakhir.”“Siap.”Rafael menarik napas panjang, lalu memijit pelipisnya. Sesaat, pikiranny

Sore itu toko roti mulai sepi. Hanna tengah membereskan etalase, menata roti yang baru saja keluar dari oven, tapi wajahnya pucat kelelahan. Entah kenapa sejak beberapa hari terakhir tubuhnya terasa lebih cepat lelah, mual sesekali datang, tapi ia mengabaikan semua itu dengan alasan terlalu sibuk. Masalah yang tengah dihadapi dengan teror Darma yang cukup mengganggu kehidupannya. Menguras pikirannya di tengah kesibukannya menjalankan usaha toko rotinya saat ini. Hal itulah yang membuatnya mengabaikan rasa tak nyaman yang tubuhnya mulai rasakan. “Capek sekali hari ini,” gumamnya, mengelap peluh di dahi. Salah seorang karyawannya sontak meminta Hanna untuk istirahat. "Tidak apa-apa. Aku bisa mengerjakan semua ini sambil duduk," ucapnya menolak halus. Tak lama terdengar bel pintu berdenting, menandakan seseorang masuk. Hanna mengangkat wajah dan mendapati Jenni berdiri di sana. Gadis itu melangkah anggun, senyum kecil tersungging di bibirnya. Namun di balik senyum itu, Hanna bi

Ruang perawatan rumah sakit sore itu terasa sunyi. Hanna tertidur lemah dengan wajah pucat, sementara Rafael berdiri di dekat jendela, sibuk menekan ponselnya. Bukan untuk urusan kantor, melainkan menerima panggilan dari Hartono."Apa yang terjadi, Rafael?" Pertanyaan sang kakek yang mengandung makna, membuat Rafael harus mengatur napas dan intonasi suaranya. "Hanna pingsan waktu di toko tadi.""Anak itu pasti terlalu memaksakan diri. Tubuhnya capek dan lelah, tapi ia paksakan.""Ya. Dan hal itu yang akhirnya membuat Kakek harus lebih bersabar lagi ntuk mendapatkan cucu buyut.""Apa maksudmu?" Hartono bertanya tak mengerti. Beruntung percakapan mereka hanya lewat telepon, andai secara langsung, entah bagaimana Rafael menunjukkan ekspresinya di depan sang kakek. "Hanna keguguran, Kek. Dia ternyata sedang hamil kemarin.""Ya, Tuhan! Kasihan anak itu. Lantas, bagaimana kabar Hanna sekarang?"Sama sekali tidak Rafael sangka, kakeknya itu ternyata tidak kecewa ataupun marah demi mengeta

Rafael baru akan menuju kamar sang kakek, ketika ia mendengar langkah pelan terdengar mendekat. Suara tongkat tua memukul lembut lantai. “Rafael!” panggil kakeknya, Hartono, dengan suara tenang namun tegas.Rafael segera melangkah cepat. “Aku pikir Kakek sedang istirahat," katanya sopan, mencoba terdengar biasa.Hartono menatap cucunya dalam diam. Tatapan itu cukup untuk membuat Rafael tahu bahwa kakeknya sudah tahu segalanya. Ia menatap kembali dengan pasrah.“Duduklah, Nak,” ucap Hartono akhirnya, mengajak Rafael duduk di area ruang santai di lantai dua tersebut. "Kakek ingin bicara sedikit.”Rafael menuruti, duduk di atas sofa. Hartono perlahan ikut duduk di depannya. Sekilas, tatapan tuanya terlihat lembut namun menyelidik.“Aku mendengar kabar tentang Jenni dari Tristan,” ucap Hartono hati-hati. "Tristan cerita apa ke Kakek?" tanya Rafael bingung. Hartono tersenyum sambil memainkan tongkatnya. "Yang terjadi pada Hanna," jawabnya. Rafael pun mengangguk pelan. “Ya, Kek.”“Kau t