Tous les chapitres de : Chapitre 61 - Chapitre 70

Cahaya matahari menembus tirai tipis, menimpa wajah Rafael yang masih tertidur di sisi Hanna. Untuk sesaat, Hanna hanya menatap —diam, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Ada rasa tenang, sekaligus bingung.Ia bahkan tidak tahu kapan Rafael tertidur. Yang ia tahu, sebelum terpejam, lelaki itu sempat menyentuh bahunya sebentar —lalu memintanya untuk segera tidur. Namun anehnya, sentuhan itu membuat Hanna bisa tertidur untuk pertama kalinya setelah menangis terus menerus paska keguguran yang dialaminya.Rafael bergeming sedikit, membuka mata perlahan. Tatapan mereka bertemu. Hanna buru-buru menoleh ke arah lain, pura-pura sibuk merapikan selimut.“Sudah pagi,” kata Rafael pelan, suaranya serak tapi lembut.“Sudah,” jawab Hanna singkat. Ia masih tidak berani menatapnya. “Aku akan meminta pelayan untuk menyiapkan sarapan," katanya lagi. “Tidak perlu. Aku ke bawah saja nanti,” ucap Rafael sambil menegakkan tubuh. “Kau istirahat saja. Hari ini aku akan kerja

Keesokan harinya, udara terasa cerah dan sejuk. Langit biru bersih seolah menenangkan suasana hati semua orang di rumah besar keluarga Bachtiar.Hanna sudah bangun sejak pagi. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia bersikeras untuk ikut mengantar Juan dan Jenni yang akan kembali pulang.“Tidak perlu memaksakan diri,” ucap Rafael lembut saat melihat Hanna menyiapkan diri di depan cermin.Hanna menatap pantulan suaminya itu dan tersenyum kecil. “Aku ingin melakukannya. Mereka akan pergi jauh. Aku tidak ingin perpisahan kami terasa canggung.”Rafael sempat ingin melarang, tapi kemudian mengangguk. Ada sesuatu dalam suara Hanna yang membuatnya enggan mematahkan tekad itu.Langit biru dengan matahari yang belum terlalu tinggi mengiringi mobil yang Rafael kemudikan, meluncur menuju bandara. Di kursi sebelahnya, Hanna duduk diam dengan cardigan menutupi tubuhnya. Tubuhnya masih lemah, tapi ia bersikeras ikut mengantar. Rafael, yang duduk di balik kemudi, sesekali melirik khawatir.“Kau y

Rafael berdiri di sisi meja, ponselnya masih di tangan. Dilihat dari sikap dan gesture tubuhnya, Hanna tahu pembicaraan itu tidak sebentar.“Nadya, aku sudah bilang, urusan itu bisa menunggu besok.” Suara Rafael terdengar pelan tapi tegas, dan Hanna bisa mendengar nada yang berbeda —bukan suara atasan dan bawahan biasa. Ada sesuatu yang lebih pribadi di sana.Ia tidak berniat menguping, tapi di kamar yang sunyi —ditambah dirinya yang masih terjaga, setiap kata terdengar begitu jelas.“Baik. Aku akan cek laporanmu pagi-pagi,” ucap Rafael lagi. “Kau tidak perlu menunggu.”Beberapa detik kemudian panggilan berakhir. Rafael memijat pelipisnya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah tempat tidur. Tatapan mereka bertemu sesaat, Rafael terlihat dingin, tapi ada kecewa yang berusaha disembunyikan di mata Hanna.“Masalah kantor?” Tiba-tiba Hanna bertanya, mencoba terdengar tenang.“Ya.” Jawaban Rafael singkat.Rafael berjalan ke arah ranjang, melepas sandal kamar, lalu naik ke atas ranjang. I

Makan malam telah usai. Hartono lebih dulu meninggalkan meja setelah menepuk bahu Rafael dan tersenyum pada Hanna.Sisa suasana hening sekarang —hanya terdengar detik jam dan suara sendok yang sesekali beradu di piring Hanna.Rafael yang sejak tadi lebih banyak diam, menyandarkan tubuhnya di kursi. Pandangannya mengarah pada Hanna yang tampak tenang, padahal hatinya sedang bergejolak.Kalimat sederhana yang keluar dari mulut wanita itu, “Dia mengirimku pesan setelah sampai”, masih terngiang di telinganya.Ia tak tahu kenapa, tapi bayangan Juan dan Hanna bertegur sapa lewat pesan membuat dadanya terasa sesak.“Jadi kalian masih berkomunikasi?”Pertanyaan itu keluar akhirnya. Nadanya datar, tapi matanya tajam.Hanna menoleh pelan, sedikit terkejut dengan nada suaranya."Maksudmu Juan?" tanya Hanna meyakinkan. "Siapa lagi selain kita di sini?" Rafael mengangkat bahu. Hanna kembali dengan makan malamnya, tersisa sedikit —segera menghabiskannya menyusul Rafael. “Hanya pesan singkat. Dia

Suara air mengalir dari kamar mandi kecil di samping ruang kerja, menyentuh lantai marmer dengan irama membosankan. Rafael berdiri di depan wastafel, menatap bayangan dirinya di cermin.Wajah yang sama —datar, dingin, tanpa ekspresi. Namun, entah sejak kapan, setiap kali ia melihat pantulan itu, ia merasa tidak benar-benar mengenali dirinya lagi.Ia menarik napas panjang, menyibak rambutnya yang sedikit basah. Sudah seminggu lebih ia berusaha menjaga jarak, bersikap sewajarnya. Tapi setiap kali melihat Hanna, semuanya seperti kacau lagi.Hanna terlalu lembut untuk dunia sekeras yang ia hadapi setiap hari. Terlalu tulus, bahkan ketika ia sendiri sering tidak tahu cara bersikap padanya.Ia ingat malam itu. Tatapan mata Hanna, cara gadis itu menunduk, suara napasnya yang terdengar dekat. Rafael menggenggam pinggir wastafel erat-erat.Sial. Ia bahkan masih bisa mengingat aroma rambutnya. Wangi sampo yang dipakai, juga wangi sabun yang menyentuh wajah dan seluruh badannya, masih terekam je