Semua Bab Kesepakatan di Balik Gaun Pengantin: Bab 21 - Bab 30

Seline menatap meja makan yang nyaris tak tersentuh. Hanya ada satu cangkir kosong di sana—jejak keberadaan Elang yang semakin hari terasa makin jauh.Sudah beberapa hari sejak semua berita tentang mereka menghilang begitu saja. Secepat kabar itu datang, secepat itu pula lenyap tak berbekas. Seline tahu, ini pasti ulah Elang. Entah dengan uang, kekuasaan, atau koneksi yang pria itu miliki. Ia tak peduli bagaimana caranya, yang jelas, Elang berhasil membuat semua itu seolah tak pernah ada.Tapi bukan hanya berita yang menghilang.Elang juga.Pria itu semakin jarang terlihat di apartemen ini. Pulang larut malam, kadang bahkan tidak pulang sama sekali. Pagi-pagi buta, saat Seline masih terlelap, Elang sudah pergi. Yang tersisa hanyalah cangkir kosong itu. Selalu cangkir yang sama, selalu di tempat yang sama, seolah jadi penanda betapa jauhnya jarak di antara mereka.Dan entah sejak kapan, Seline mulai membenci benda kecil itu.Dengan langkah pelan, ia meraih cangkir di meja, jarinya geme

Pagi itu, Seline terbangun di atas ranjang Elang.Cahaya matahari yang menerobos melalui celah tirai membuatnya menyipit. Tubuhnya terasa remuk, nyeri di tempat-tempat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pakaian mereka, yang berserakan di lantai, jejak samar dari apa yang terjadi semalam adalah bukti nyata.Seline menarik napas dalam, mencoba memahami semua perasaan yang bercampur aduk di kepalanya. Pengalaman pertamanya… dan dia bahkan tak tahu bagaimana harus mendefinisikannya.Di sisi ranjang, Elang terduduk di tepinya. Punggung pria itu sedikit membungkuk, tubuhnya tegap, tapi ada ketegangan yang jelas terlihat.“Sel…” Suara Elang berat, seperti gumaman yang nyaris tenggelam. “Maaf. Seharusnya…”Seline menoleh, matanya menatap punggung pria itu yang kokoh… tapi entah kenapa terasa begitu jauh."Maaf?" ulangnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Apakah itu… yang harus ia dengar setelah apa yang terjadi tadi malam? Setelah mereka menyerahkan diri sepenuhnya, tanpa penjelasan,

Bab 26Sejak kecil, hidup Elang selalu dibentuk oleh ekspektasi.Ia tumbuh dengan aturan yang tak pernah fleksibel, di mana setiap langkah harus terencana, setiap keputusan harus punya tujuan jelas. Sebagai putra sulung dan pewaris utama, masa depannya bukan miliknya sendiri, itu milik keluarga, perusahaan, dan nama besar yang harus ia jaga.Pernikahannya dengan Seline adalah bagian dari semua itu.Langkah pertama untuk memenuhi harapan yang terus menekan bahunya. Bukan karena cinta, bukan karena keinginan pribadi, tetapi karena itu… adalah cara paling mudah untuk meredam tekanan.Namun, ternyata itu belum cukup.“Menikah saja tidak cukup, Elang,” suara sang ayah terdengar tegas di ruang kerja mereka yang luas, dingin, nyaris tanpa sentuhan pribadi.Elang duduk di seberang meja, wajahnya tenang, tapi pikirannya dipenuhi rasa lelah yang tak lagi ia tunjukkan. Percakapan seperti ini terlalu sering terjadi. Terlalu hafal sampai-sampai ia bisa menebak alur kalimat ayahnya.“Keluarga kita

Elang dan Seline duduk saling berhadapan di meja makan kecil yang menyatu dengan dapur apartemen mereka. Kesepakatan itu akhirnya tercapai. Seline menyanggupi tawaran Elang—bukan karena cinta, bukan karena ambisi pribadi, tapi karena dia tahu, ini adalah jalan paling masuk akal untuk masa depan ibu dan Yuna. Jika orang lain melihat, mungkin dia akan dianggap perempuan yang mata duitan. Tapi Seline tak peduli. Anggap saja… dia sedang berbisnis dengan Elang. Atau membeli sebuah asuransi untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi. Di atas meja, lembaran kertas berisi kesepakatan terbuka lebar. Tulisan hitam di atas kertas putih itu terlihat begitu formal, dingin, tanpa emosi. “Baca dulu,” ucap Elang tenang. Seline menarik napas pendek, lalu berdehem pelan. Tangannya meraih kertas itu, membaca isinya perlahan, memastikan tidak ada hal yang terlewat. Poin satu… ceklis. Poin dua… ceklis. Poin tiga… ceklis. Hingga akhirnya, matanya berhenti di salah satu kalimat yang membuat alis

Pagi hari datang dengan cahaya lembut yang menyelinap masuk melalui sela-sela tirai. Suara pelan gemericik air dan aroma roti panggang memenuhi dapur kecil mereka. Seline berdiri di depan meja dapur, sibuk menyiapkan sarapan sederhana—dua potong sandwich dengan isian telur dan sayuran. Tangannya cekatan, matanya fokus, tapi pikirannya entah ke mana. Hingga suara langkah berat membuatnya menoleh. Elang keluar dari kamar, mengenakan setelan santai: kaus putih polos dan celana bahan berwarna abu-abu gelap. Bukan kemeja rapi atau jas kerja seperti biasanya. Seline sempat terdiam. Pemandangan itu cukup asing baginya. Elang bukan tipe pria yang santai, apalagi di pagi hari. Biasanya, jam segini dia sudah siap berangkat kerja dengan ekspresi serius. Seline meletakkan piring berisi dua potong sandwich di meja, tepat di depan Elang yang baru saja duduk. “Apa kau tidak bekerja hari ini?” tanyanya, heran. Elang menerima piring itu tanpa menjawab, mengambil satu potong sandwich, lalu