Pengantin Pengganti untuk Sang Majikan의 모든 챕터: 챕터 141 - 챕터 150

Ruang tamu yang semula tegang kini terasa semakin mencekam. Jenn menegakkan tubuhnya, sorot matanya tajam menusuk Thomas. Padahal, Jenn hanya ingin bicara satu kalimat saja. “Aku minta izin untuk pulang, Ayah,” suara Jenn datar tapi bergetar menahan emosi. Namun Thomas menepuk sandaran kursinya keras, menolak permintaan Jenn dengan tegas. “Kau tidak boleh pergi, Jenn! Jika kau menginginkan harta peninggalan ibumu, maka kau harus patuh pada segala keputusan yang Ayah buat. Hanya itu syaratnya!” Jenn tersentak, tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Thomas. Wajahnya membeku, lalu perlahan berubah menjadi semakin dingin. “Ayah tahu harusnya tidak melakukan hal ini padahal kita baru bertemu, tetapi pria yang kau bawa pulang ke rumah adalah seorang Bellagio.” Jenn mendengus kesal. “Harta itu pure milik ibuku… bukan milik Ayah,” balasnya lantang. “Dan Ayah tidak berhak menggunakannya

Begitu mobil berhenti di basement apartemen, Javier turun lebih dulu, lalu dengan lembut menggenggam tangan Jenn, mengajaknya masuk ke lobi. Jenn nampak berjalan dengan tenang, tapi tatapan matanya kosong, seperti ada ribuan pikiran yang berputar dalam kepalanya dan sulit untuk diabaikan. Sesampainya di dalam unit apartemen, suasana hening menguasai ruangan. Jenn langsung melepas jaketnya dan duduk di sofa, tanpa sepatah kata pun. Javier terus memperhatikan dari jauh, sejenak ingin mendekat tapi pada akhirnya ia pun hanya menahan diri. Ia tahu, memaksa Jenn bicara saat ini hanya akan membuat beban gadis itu semakin terasa berat. Namun, meski Jenn memilih untuk diam, Javier tetap ada di sekitarnya. Ia menyiapkan segelas teh hangat, meletakkannya di meja dekat Jenn. Ia mengambil selimut tipis, menyelimuti ke pundak Jenn tanpa banyak bicara. Harapan terbesar Javier saat ini adalah agar bukti bahwa dia dan Jenn tidak memiliki hubungan darah akan segera ada.

Thomas kini tengah duduk di kursi kerjanya, jari-jarinya mengetuk meja kayu tua dengan ritme pelan. Wajahnya tegang, napasnya panjang dan berat, seakan sedang menahan emosi yang menggelegak. Sejak mengetahui keberadaan Jenn, dia mulai merasakan gairah hidup yang sesungguhnya dalam hidup. “Anak itu… Javier Bellagio.” ucapnya lirih namun penuh penekanan. “Aku tidak bisa membiarkan Jenn berada di sisinya terlalu lama. Dia bukan hanya ancaman bagi keluarga Ludrent, tapi juga perampas masa muda putriku. Aku tidak bisa menerima kenyataan putriku dan Valerie sudah menikah saat usianya begitu muda.” Sofia yang berdiri tidak jauh hanya melirik sekilas, pura-pura sibuk dengan cangkir tehnya. Maria, sebaliknya, menunduk dalam, jelas menyimpan banyak rasa ingin tahu dengan maksud yang sesungguhnya dari ucapan Thomas. Thomas mencondongkan tubuhnya, pandangan matanya tajam seperti sedang menatap bayangan musuh lama. “Jenn harusnya kuliah, bersenang-sen

Begitu pintu apartemen menutup, Javier melepaskan jasnya dan langsung menarik Jenn ke dalam pelukan. Aroma lembut dari rambut Jenn menenangkan hati dan kepalanya yang penat setelah beberapa hari terakhir ini bermain strategi menghadapi Ludrent. “Aku pulang, Sayang,” bisiknya di telinga Jenn, suaranya berat namun penuh rasa lega yang begitu jelas. Jenn mengangguk kecil, kedua tangannya terangkat ragu sebelum akhirnya membalas pelukan itu. Ia bisa merasakan tubuh Javier yang begitu tegang, seolah menahan beban yang sangat besar di pundaknya. “Aku tahu kau sibuk… dan aku tahu ini tidak mudah untuk kau jalani,” ucap Jenn pelan, matanya menatap lantai. “Tapi aku tidak ingin kau ataupun Ayahku terluka. Aku hanya ingin… semua baik-baik saja walaupun kedengarannya sulit sekali.” Javier mundur sedikit, menatap wajah Jenn. Ada ketulusan yang menyayat hatinya. Ia tersenyum samar, mengusap pipi Jenn dengan ibu jarinya, gerakannya lembut.

Pagi berikutnya suasana apartemen terasa sedikit berbeda. Javier bangun lebih awal dari biasanya, ia sudah menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang, telur, dan segelas susu hangat. Jenn sempat terkejut ketika keluar dari kamar dan melihat meja makan sudah tertata rapi, lengkap dengan menu sarapannya. “Ya ampun... jam berapa kau bangun tadi?” tanya Jenn yang masih nampak terheran-heran. “Belum lama, kok. Sarapan sederhana seperti ini, tentu saja mudah untuk dibuat. Aku juga hanya ingin kau tidak terlalu lelah hari ini,” kata Javier sambil menarik kursi untuk Jenn. Jenn duduk, senyumnya tipis tapi tulus. Ada perasaan hangat yang mulai menyingkirkan resah beberapa hari terakhir. Mereka pun makan sarapan dengan tenang, dan di sela itu Javier mulai membicarakan rencana liburan mereka yang akan segera tiba. “Aku sudah minta Ken mengatur semuanya,” ujarnya santai sambil menyesap kopi. “Kita tidak perlu