Akad Dadakan: Suami Penggantiku Ternyata Sultan のすべてのチャプター: チャプター 341 - チャプター 350

Isvara tidak menjawab, tapi tatapannya cukup untuk memberi izin.“Dua hari sebelum kita berangkat ke Singapura, Fajar lagi cuti,” ujar Alvano pelan, berhati-hati menakar nada suaranya. “Hari itu aku habis meeting bareng Via di sekitar Plaza Indonesia, jadi sekalian mampir ke Hermès buat pesan tas itu. Koleksinya limited, jadi harus inden.”Alvano menatap Isvara lama, memastikan setiap kata tersampaikan. “Nama Via aku tulis di invoice karena dia yang bantu urus administrasi dan jadwal pengambilan barang. Rencananya, sore ini memang cuma dia yang akan ambil.”Isvara tetap diam. Tatapannya tak goyah, hanya sedikit melembut, tapi masih penuh tanya.“Terus kenapa tadi aku lihat kamu berdua sama dia, Mas?”“Sebetulnya nggak berdua,” jawab Alvano, suaranya makin rendah. “Fajar tunggu di basement karena kita habis meeting. Kebetulan butik telepon Via dan bilang pesanannya udah bisa diambil. Aku sekalian ke Cartier dulu beli perhiasan buat kamu, terus jalan ke Hermès bareng dia buat ambil tasny

Pagi ini, cahaya matahari menembus tirai tipis, menggurat lembut di seprai putih yang kusut.Alvano membuka mata lebih dulu seperti biasa. Dia menatap Isvara yang masih terlelap di lengannya, lalu tanpa sadar tersenyum. Tangan satunya menyibak rambut yang jatuh di wajah istrinya.“Hamil …,” gumam Alvano pelan, seolah masih ingin meyakinkan diri sendiri. Kata itu terasa ajaib di lidahnya. Dia menunduk, mencium kening Isvara lembut. “Terima kasih, Istriku. Kamu selalu kasih alasan buat aku pulang.”Isvara bergumam pelan tanpa membuka mata, “Mas ngomong sama siapa?”“Sama bidadari yang lagi tidur di pelukan aku.” Alvano terkekeh kecil setelahnya.Isvara membuka mata setengah, matanya masih sayu tapi bibirnya tersenyum. “Bidadari yang suka ngigau?”“Terserah. Aku tetap cinta,” jawab Alvano cepat, membuat Isvara tertawa kecil dan menepuk dadanya pelan.“Mas, kita harus pulang. Anak-anak harus sekolah,” ucap Isvara akhirnya sambil duduk.“Pulang,” ulang Alvano pelan, lalu memeluk Isvara dari

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Isvara memutuskan mampir ke kantor Narendra Holdings. Tujuannya sederhana, melihat hadiah yang Alvano siapkan.Koreksi: bukan hanya melihat, tapi langsung mengambilnya sendiri.Begitu mobil berhenti di depan lobi, Alvano segera keluar dan membukakan pintu penumpang untuk Isvara.“Udah lama ya, aku nggak ke sini,” ucap Isvara begitu kakinya menapak di lantai marmer lobi yang dingin dan mengilap.Alvano tersenyum kecil. “Iya, lama banget. Sibuk banget soalnya istri CEO ini. Minimal anter makan siang kek buat suaminya,” selorohnya santai sambil menggandeng tangan Isvara masuk ke dalam gedung.Isvara menoleh, menatapnya geli. “Maaf deh, nanti aku sempetin. Tapi jangan heran kalau aku nongol tiba-tiba di ruang meeting kamu ya, Mas.”“Nggak apa-apa,” jawab Alvano cepat. “Biar semua orang tahu bosnya udah nikah dan bahagia.”Ucapan itu membuat Isvara spontan mencubit lengannya pelan. “Mas, bisa aja.”Mereka berdua tertawa kecil saat melangkah ke dalam l

Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Rumah sudah sunyi. Hanya satu lampu kamar yang masih menyala redup di sudut, menebar cahaya hangat di dinding.Isvara belum tidur. Dia menggeliat gelisah di tempat tidur, lalu duduk sambil memegangi perutnya yang kini memasuki minggu ke-lima belas.“Mas …,” panggilnya pelan.“Hm?” Dari sisi tempat tidur, terdengar suara bergumam setengah sadar. “Mas, aku mau mangga muda.”“Mangga?” Alvano masih separuh bermimpi. “Besok pagi aja, ya?”Isvara menggeleng, pelan tapi tegas. “Nggak mau. Maunya sekarang. Yang dari rumah Ibu. Yang masih di pohon belakang.”Mata Alvano langsung terbuka penuh. Dia menatap jam di nakas, lalu menatap istrinya yang duduk dengan ekspresi serius, terlalu serius untuk urusan mangga.“Sekarang? Tengah malam gini?” tanya Alvano memastikan.“Iya,” jawab Isvara ringan, seolah hal itu masuk akal sepenuhnya.“Ra, rumah Ibu itu tiga puluh menit dari sini.”“Tapi mangga yang di rumah Ibu rasanya beda, Mas,” rengek Isvara pelan s

Hari ini ulang tahun si kembar yang kedelapan. Namun, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, rumah mereka tidak lagi dipenuhi balon, kue bertingkat, atau tawa tamu undangan. Tidak ada pesta besar, tidak ada dekorasi megah. Hanya pagi yang hangat, aroma roti panggang dari dapur, dan rencana kecil yang terasa jauh lebih bermakna.Isvara dan Alvano sepakat merayakannya dengan cara sederhana, yaitu mengunjungi panti asuhan yang selama ini rutin mereka bantu.Bukan untuk pamer kebahagiaan, bukan pula pamer kebaikan. Alvano hanya ingin anak-anaknya belajar satu hal yang tak bisa diajarkan di ruang kelas: rasa syukur.Di kursi belakang mobil, Avanil dan Avanira saling bersahutan menyanyikan lagu ulang tahun dengan versi mereka sendiri, sementara seorang bayi kecil berusia setahun duduk di pangkuan Isvara, yaitu Devantara, dengan pipi bulat dan rambut hitam tebal yang selalu berdiri di ubun-ubun.Sesekali Devantara menepuk-nepuk kursi depannya sambil berseru riang, “Daa-ddy!” membuat seluruh mob