Lahat ng Kabanata ng Antara Peran dan Perasaan: Kabanata 41 - Kabanata 50

“Siapa di sini yang pernah bicara langsung dengan anak-anak dari daerah tanpa sinyal?”Suara Nara mengisi aula kecil kantor pusat. Tak ada mikrofon. Tak ada panggung. Hanya ia berdiri di depan, dengan papan tulis putih dan spidol hitam.Dua tangan terangkat.“Siapa yang pernah ajarkan cara mengirim email ke siswa yang baru pertama kali pegang keyboard?”Satu tangan.“Siapa yang ingin tahu rasanya membentuk opini publik bukan lewat konten viral, tapi lewat mata anak kecil yang bilang, ‘aku baru tahu suara bisa ditulis’?”Delapan tangan.Lalu dua belas.Sore itu, Nara memperkenalkan ulang program Dirgantara Mengajar. Kali ini, bukan hanya sekadar CSR—tapi komitmen personal perusahaan untuk hadir secara nyata.“Kita bukan hanya perusahaan. Kita adalah suara. Dan suara yang tidak pernah menyentuh pelosok… akan jadi gema yang memantul di ruang kosong.”Ia menampilkan peta. Titik-titik kecil muncul: Papua Barat, Lembata, Mandailing Natal, Pulau Selayar.“Ini tempat yang tidak punya siapa-si

Ruang rapat siang itu tidak dipenuhi grafik atau proyeksi pasar. Tidak ada bahasan saham. Tidak ada laporan target triwulan.Tapi semua direktur hadir.Karena Nara membuka sesi dengan satu pertanyaan sederhana:“Kapan terakhir kali kalian bicara dengan pasangan atau keluarga… tanpa membahas pekerjaan, tanpa layar, dan tanpa sambil melihat jam?”Ruang itu diam.Seseorang tertawa gugup. Seorang lainnya melihat lantai.Pak Elvino menghela napas. “Mungkin... sebulan lalu. Atau dua. Atau… saya tak yakin.”Nara menatap mereka satu per satu.“Kita berbicara banyak soal komunikasi publik. Tapi komunikasi pertama yang gagal… biasanya terjadi di rumah.”“Dan kalau kita tak tahu mendengar orang terdekat kita, bagaimana bisa kita yakin bahwa kita layak didengar publik?”Seminggu kemudian, Dirgantara meluncurkan program baru:"Rumah Bicara" – Komunikasi Personal untuk Pegawai dan Keluarga.Isinya bukan workshop teknis. Tapi ruang-ruang kecil—offline dan online—yang mengajak karyawan untuk:Bicara

Setelah dunia luar berkali-kali ia hadapi dengan kepala tegak, kini Nara mulai membuka ruang yang lebih dalam: dirinya sendiri. Sebuah buku catatan kecil mulai ia tulis. Bukan untuk dibaca publik. Tapi untuk ditinggalkan, jika suatu hari ia tak lagi bisa menjelaskan dirinya dengan kata-kata.Raydan menemukannya secara tak sengaja. Dan yang ia baca… mengubah caranya memandang perempuan yang selama ini ia cintai bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai jiwa yang terus berperang diam-diam. Awal: Menulis Bukan Untuk DiterbitkanPukul tiga dini hari. Hujan turun samar di luar jendela kamar.Nara bangun pelan, mencoba tak membangunkan Raydan. Ia duduk di sudut ruang baca kecil di samping tempat tidur, menyalakan lampu meja, dan membuka jurnal kulit cokelat tua—yang sudah lama ia simpan, tapi baru sekarang mulai ia isi kembali.“Aku sudah bicara banyak. Di konferensi. Di rapat. Di media. Tapi tetap ada hal-hal yang tak pernah bisa keluar. Hal-hal yang tak bisa ditaruh di kalimat publik, kare

Tiga minggu setelah kejadian malam itu, Raka kembali ke kantor. Masih pelan. Masih menyusun napas. Tapi lebih hadir dari sebelumnya.Nara menemuinya di taman belakang kantor. Di bangku kayu yang dulu sering kosong.“Aku tidak akan tanya apakah kamu sudah baik-baik saja,” ucap Nara. “Tapi aku akan tanya, apakah kamu ingin melakukan sesuatu yang mungkin bisa membuat hari-harimu sedikit lebih punya arah?”Raka tersenyum kecil. “Apa itu?”Nara menyerahkan satu map cokelat.Isinya: proposal bertajukUNIT SUARA SENYAP – Dirgantara Listening LabKonsepnya sederhana:Ruang privat tanpa jadwal resmi, di mana siapa pun boleh datang dan bicara.Tak ada form. Tak ada asesmen.Hanya ruang.Kursi.Telinga.Teh hangat.Dan… kehadiran.Raka membaca diam-diam.Kemudian Nara berkata:“Kamu tahu kenapa aku kasih map ini ke kamu duluan, bukan ke manajer HR?”Raka mengangguk pelan. “Karena aku pernah nyaris jadi suara terakhir itu.”Nara membalas, lembut, “Dan karena kamu tahu… bagaimana rasanya ingin bic

Mobil off-road itu berhenti di tepi jalan tanah, dikelilingi ladang ilalang dan bau kayu bakar.Desa Sukajaya.Tiga jam dari pusat kota. Tak ada sinyal. Tak ada lampu jalan. Tapi ada sesuatu yang menyala di udara: ketenangan yang tak bisa diciptakan oleh modernitas.Nara turun lebih dulu. Rambutnya diikat longgar. Raydan membantunya membuka ransel. Mereka disambut oleh kepala dusun dan beberapa guru lokal.“Selamat datang, Bu Nara. Pak Raydan. Anak-anak sudah tak sabar nunggu,” ucap kepala dusun, tangannya kasar tapi hangat.Mereka dibawa ke balai kecil beratap seng. Di sana, dua puluh anak duduk melingkar, sebagian dengan baju sekolah pudar, sebagian tanpa alas kaki.Tapi semua mata… penuh cahaya.Hari pertama diisi dengan sesi mendengar. Bukan mereka yang berbicara. Tapi anak-anak yang menulis pertanyaan di kertas kecil:“Kenapa orang kota suka sibuk sendiri?”“Kalau kami belajar bicara, apakah kami bisa didengar juga di Jakarta?”“Apa bedanya suara dengan teriakan?”Nara membaca pe