Antara Peran dan Perasaan のすべてのチャプター: チャプター 21 - チャプター 30

Di tengah malam yang gerimis, Raydan dan Nara duduk di ruang kerja, lampu redup menyinari peta kekuasaan tak tertulis yang terbentang di meja mereka: foto-foto, cetakan email, peta jaringan relasi internal, dan satu folder merah bertuliskan “Opsi A”.“Kalau kita serang Karina langsung, dia akan membalik semuanya jadi drama pencemaran nama baik,” ucap Raydan.Nara mengangguk. “Terlalu cerdas untuk langsung dijatuhkan. Kita perlu menggoyang kepercayaan orang-orang yang mendukungnya terlebih dahulu.”Raydan menunjuk satu nama: Pak Fahri, kepala logistik yang memiliki relasi lama dengan SilverSouth dan ikut menandatangani memo pengadaan lahan Jatiwaru.“Dia loyal pada dewan, bukan pada Karina. Tapi dia juga oportunis. Jika dia tahu Karina menyembunyikan data yang bisa menjatuhkan Dirgantara, dia mungkin berbalik arah.”Nara menatap Raydan. “Berarti kita beri dia umpan. Tapi dengan cara yang tidak membuatnya tahu dia sedang diberi umpan.”Dua hari kemudian, Nara mengirim email singkat ke Ka

Untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir, Nara merasa tenang saat membuka email pagi.Tak ada notifikasi mencurigakan.Tak ada undangan rapat mendadak.Tak ada nada ancaman tersirat dari Karina.Raydan bahkan sempat mengirim pesan ringan:“Kamu seperti badai yang menyusup diam-diam. Kita buat mereka goyah lagi hari ini.”Dan Nara tersenyum. Ia percaya, hari itu mereka memimpin.Tapi rasa menang yang datang terlalu cepat sering kali menyembunyikan jebakan.Dan jebakan itu datang dalam bentuk pesan suara.Siang hari, saat Nara sedang dalam perjalanan menuju ruang tim media untuk finalisasi dokumentasi merger, ponselnya berdering.Nama di layar: Intan – jurnalis independen yang pernah mewawancarainya setelah konferensi klarifikasi.“Nara,” sapa suara di seberang, “aku dengar rumor tidak enak dari dalam.”Nara menegakkan bahu. “Rumor seperti apa?”“Bahwa kamu menyabotase Karina. Bahwa kamu terlalu ikut campur. Beberapa orang bahkan bilang kamu ‘memecah struktur PR dari dalam.’”Nara

Pagi itu, notifikasi ponsel Nara berdering seperti sirene. Bukan dari satu aplikasi, tapi hampir semuanya—Twitter, W******p, email, hingga Telegram. Judul berita muncul serempak, membentuk dinding tak kasatmata yang menyergapnya bahkan sebelum ia sempat bangun penuh:“Siapa Sebenarnya Nara Ayuningtyas? Masa Lalu yang Tak Pernah Diceritakan.”“Ibunda Nara Dirawat di Rumah Perawatan: Fakta atau Disembunyikan?”“Laporan Keuangan Freelance Fiktif? Benarkah Istri Raydan Pernah Gunakan Data Palsu Saat Melamar Proyek?”Jantung Nara berhenti sepersekian detik.Ia mengambil ponsel, membuka satu artikel. Gambar blur rumah perawatan ibunya terpampang besar. Di bawahnya, cuplikan rekam jejak pendidikan, data proyek lepas saat ia bekerja sebagai penulis freelance lima tahun lalu, dan komentar dari “sumber anonim”.“...saat itu, klien kami mencurigai proposalnya menggunakan portofolio fiktif. Kami tak pernah dapat klarifikasi...”Nara duduk di ujung ranjang. Dunia seperti memutar arah. Bukan karena

Undangan itu datang bukan lewat Karina, bukan lewat sistem resmi, dan bukan pula lewat PR. Melainkan langsung dari meja Elvino—tertulis tangan:“Kami mengundang Ibu Nara Ayuningtyas untuk memberikan pandangan sebagai warga sipil yang terhubung langsung dengan dinamika publik, dalam forum refleksi direksi terbatas. Tidak wajib. Tidak formal. Tapi akan menentukan.”Nara membacanya di dapur, sambil menyesap teh.Raydan masuk membawa map kerja. “Kamu dipanggil?”Nara menunjukkan suratnya. “Untuk berbicara sebagai 'suara publik'. Bukan sebagai istri CEO.”Raydan tersenyum samar. “Mereka akhirnya tahu kamu bukan hanya istri. Kamu adalah gema yang mereka coba bungkam tapi tak bisa.”Nara menatap amplop itu lagi. “Tapi kalau aku melangkah lebih dalam... aku tak bisa kembali hanya jadi penulis opini.”“Kamu tidak pernah hanya itu,” jawab Raydan. “Kamu lebih dari apa pun yang mereka pernah bayangkan.”Forum diadakan di ruang rapat kecil lantai 15. Hanya tujuh kursi. Karina tak hadir. Hanya para

Minggu pagi. Jakarta belum padat, dan udara masih terasa seperti bisa dipercaya.Nara duduk di ruang kerjanya, lembaran demi lembaran struktur tim komunikasi baru terpampang di meja. Nama-nama dikaji ulang. Posisi ditimbang bukan hanya karena keahlian, tapi juga integritas.Mira duduk di seberang. “Kita butuh orang yang tidak lahir dari sistem ini.”Nara menoleh. “Kamu punya nama?”“Ada satu. Kenalanku dari masa kuliah. Dulu magang di NGO luar negeri, sekarang kerja di bidang krisis narasi digital. Namanya Bayu.”“Bayu?” Nara mencatat. “Apa dia tahu tentang dinamika internal perusahaan besar?”“Tidak,” jawab Mira. “Tapi dia tahu cara membaca gerakan di luar.”Nara berpikir sejenak. “Justru itu yang kita butuhkan.”Dua hari kemudian, Bayu datang untuk wawancara informal.Ia datang tanpa jas. Hanya kemeja flanel, laptop, dan pertanyaan tajam.“Kenapa saya?” tanyanya pada Nara setelah lima belas menit diskusi.“Karena kamu belum jadi bagian dari siapa pun. Dan aku butuh seseorang yang bis