Semua Bab PERNIKAHAN PELUNAS HUTANG: Bab 81 - Bab 90

Ruang keluarga di rumah Cakra terasa berbeda. Sofa coklat tua yang biasa jadi rebutan cucu-cucu, hari ini seolah menjadi barisan kursi para dewasa yang menunggu dengan tegang. Mereka saling berbisik, mencari tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan Cakra.Sebagian besar dari mereka tidak tahu apa yang terjadi, sementara yang sudah tahu hanya diam dan tidak berani berspekulasi.Jam dinding berdetak nyaring dalam diam. Beberapa ART masuk ke ruangan itu dan membawakan teh, kopi serta makanan ringan untuk disantap. Akash masuk bersamaan dengan Arjuna. Keduanya datang tanpa membawa istri mereka, mereka yakin pembicaraan di ruang keluarga nanti pasti menyangkut pautkan pada istri mereka, jadi lebih baik Asha dan Sizy tidak ikut hadir.Cakra menjadi yang terakhir kali m

Pagi itu langit masih berbalut awan tipis saat Akash turun dari mobil bersama beberapa anggota timnya. Di hadapannya, hamparan lahan kosong terbentang—sebagian telah diratakan, sebagian masih dikelilingi oleh pagar seng dan tumpukan batu bata. Alpha Projek hari ini menemui jilid baru dari perjalanannya–peletakan batu pertama akan dilaksanakan hari ini, dan mereka sedang menunggu kedatangan Rama dan timnya.Di tengah area pembangunan, telah dipasang satu tenda putih sederhana. Beberapa pekerja sibuk menata kursi, sementara logo perusahaan Alpha dan CMP terpampang di spanduk belakang, berdampingan dengan gambar cetak biru gedung sekolah masa depan.Akash menyibak lengan jasnya, menyesuaikan jam tangan, lalu menatap rekan-rekannya yang kini berdiri di sampingnya. Tak lama, dua mobil lain tiba—da

Akash melihat sebuah mobil masuk ke pekarangan rumahnya, keningnya berkerut. Ia mengenali itu adalah mobil Rama, tapi untuk apa dia datang ke rumah?Setelah mobil itu terparkir rapi, Rama keluar dari mobil, disusul Anna–putrinya dan Indira dari bangku penumpang di bagian belakang. Akash makin terkejut.“Pagi,” sapa Rama sambil menyerahkan bungkusan berisi buah tangan pada Asha.“Pagi Pak Rama, ada angin apa nih?” tanya Akash setengah bercanda.Rama tersenyum tipis dan berkata, “lagi libur, gimana kalau panggil nama saja. Kita gak lagi di lingkungan kerja kan?” Akash mengangguk santai menanggapi ucapan Rama.Ia lalu memperhatikan Indira dan Anna yang saling bergandeng tangan di belakan

Indira dan Anna menoleh bersamaan pada sumber suara. Melihat ayahnya berdiri di sana Anna begitu terlihat bahagia. Sementara Indira hanya justru bingung kenapa pria itu bisa datang secepat itu. Atau jangan-jangan dia memang sudah ada di lingkungan rumah Indira saat menelpon barusan.Rama duduk di depan keduanya. Ia melihat Indira dan putrinya makan dari satu wadah yang sama. “Kenapa cuma pesan satu porsi? Uangnya kurang?” tebak Rama.Indira menggeleng pelan. “Saya takut Anna kurang suka Pak, jadi saya pesan satu aja. Siapa tahu nanti Anna mau yang lain,” jawab Indira. Tapi melihat Rama terus memperhatikan wadah tempat makannya, dia jadi khawatir… jangan-jangan Rama keberatan kalau dia dan putrinya makan satu porsi berdua. “Bapak keberatan ya saya makan satu wadah dengan Anna? Oh, saya pesanin lagi kalau gitu&nda

Pagi merambat pelan di kamar Asha, selesai melaksanakan sholat subuh tadi dia gegas menuju dapur, seperti biasa ia berniat membuat sarapan untuk keluarga kecilnya. Tapi baru selangkah kakinya menginjak dapur, bau bumbu dapur mengusik penciumannya. Tiba-tiba saja dia diserang rasa mual yang begitu berat. Itu membuatnya masuk ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya yang bahkan belum diisi apa-apa.“Kenapa Sha?” Kinasih menegur anaknya yang terlihat menggunakan kamar mandi samping dapur. Padahal biasanya dia tidak pernah ke sana.“Perut Asha mual Bu, bau di dapur gak enak banget,” keluhnya saat keluar dari kamar mandi sambil mengusap perutnya.“Bau?” Kinasih berjalan ke dapur, memastikan bau apa yang dimaksud putrinya. Tapi saat Ia sampai di dapur, ia tidak mencium bau apapun. La