Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Menikahi Pacar Kakak: Kabanata 41 - Kabanata 50

Tengah malam itu, Tara tak bisa memejamkan matanya. Gelisah menghantui pikirannya. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar untuk mengambil air minum.Namun, saat melewati kamar Liora, ia mendapati pintunya terbuka sedikit. Tara mendekat, berniat menutupnya. Tapi sebelum pintu itu tertutup sepenuhnya, terdengar suara dari dalam, suara Liora yang sedang mual dan muntah.Tanpa pikir panjang, Tara langsung masuk ke kamar itu.“Mau sampai kapan, Kakak menutupi kehamilan itu?”Suara Tara membuat tubuh Liora terlonjak kaget. Ia buru-buru memutar keran wastafel, mencoba menyamarkan suara.“Bukan urusanmu,” sahut Liora dingin. “Aku tahu kamu pasti mau mamah sama ayah tahu, lalu aku diusir dari rumah. Itu kan tujuan kamu balik ke rumah ini?”Tara menggeleng pelan, menahan emosi yang mulai memuncak. “Sejak dulu, Kak Liora selalu berprasangka buruk. Padahal, cepat atau lambat, ayah dan mamah pasti tahu sendiri. Bayi dalam perut Kakak nggak mungkin disembunyikan selamanya, bayi itu

"Video ini hanya potongan. Orang yang mengirimkannya sengaja memotong dan mengedit percakapanku dengan Beni."Rahang Dewa mengeras. Seketika ia paham, ini alasan Tara tiba-tiba pulang ke rumah orang tuanya. Hatinya mendidih. Ia merasa dipermainkan, Dewa tak mau menunggu lebih lama, ia harus tahu siapa dalang di balik semua kekacauan ini.Sementara itu, Tara hanya terdiam. Hatinya gundah, pikirannya berkecamuk. Ia tak tahu harus percaya atau tidak pada ucapan Dewa.“Tapi benar kan, Kak Dewa menikahiku cuma buat balas dendam? Kak Dewa ingin lepas dariku kan? Karena sekarang orang tuaku udah nggak salah paham lagi…” ucap Tara lirih, suaranya bergetar menahan emosi.Tanpa berkata apa-apa, Dewa menarik Tara ke dalam pelukannya. Hangat, dan erat. Ia ingin Tara tahu, semua itu hanya salah paham. Dan kini, ia bisa merasakan isi hati Tara yang sesungguhnya.“Awalnya memang begitu…” bisik Dewa perlahan, “tapi semuanya berubah. Perasaan itu datang pelan-pelan. Saat bersamamu, aku merasa tenang d

"Aduh pagi-pagi udah basah-basahan."Tara tersenyum malu saat Rina, sang ibunda, menggoda soal rambutnya yang masih basah. Dewa tak henti-henti melemparkan godaan dengan kedipan matanya yang nakal. Tara hanya bisa menunduk, senyum tipis mengembang di bibirnya, pipinya merona.Sementara itu, Liora menatap tajam penuh nyala. Ada kegelisahan yang menyusup di balik sorot matanya. Ia jelas tidak nyaman melihat kemesraan yang terjalin di antara Tara dan Dewa."Udahlah, Mah. Palingan Tara keramas juga karena baru selesai datang bulan," tukas Liora, datar dan jutek."Ya kalaupun Tara keramas karena yang lain juga nggak papa, toh mereka udah suami istri," sahut Rina santai, membela dengan nada lembut tapi tegas.Liora mendesah keras, memutar bola matanya dengan malas. Dewa membalas dengan senyum mengejek, sengaja memperpanas suasana. Hati Liora mendidih. Sarapan di hadapannya hanya disentuh, tak satupun suapan masuk ke mulut.Mah, aku sama Kak Dewa pamit pulang, kasihan Oma sendirian di rumah,

"Aku pulang... Kak Dewa kenapa kaget? Lihat aku kaya lihat hantu," ucap Tara sambil tersenyum tipis, melepaskan tas dari bahunya.Dewa sontak kikuk. Tubuhnya mematung sejenak sebelum matanya menangkap sesuatu di atas meja rias yaitu surat cerai. Jantungnya langsung berdebar. Surat itu tergeletak begitu saja, tak sempat ia sembunyikan.Tanpa pikir panjang, Dewa melangkah cepat menghampiri meja rias, berusaha menutupi surat itu dengan tubuhnya."Kak Dewa kenapa sih? Aneh banget," ujar Tara heran, memperhatikan gelagat suaminya yang tampak jelas gugup."Ng-nggak papa... Kenapa pulangnya nggak kabarin aku dulu? Kan aku bisa jemput kamu di kampus," jawab Dewa, suaranya tak stabil, mencoba terdengar tenang padahal pikirannya kalut."Aku kan dijemput Adit. Masa Kak Dewa lupa? Harusnya Kak Dewa masih nemenin Kak Liora," balas Tara santai, kini sudah duduk di tepi ranjang sambil melepas sepatu.Dewa menghela napas panjang, lalu menatap Tara."Kakakmu itu pura-pura terkilir. Aku lihat sendiri.

Dewa yang masih berada di persimpangan jalan, tengah menanti kabar dari Adit. Tak lama, suara notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Dengan sigap, Dewa membuka pesan penting dari Adit."Tuan, Non Tara berada di taman dekat danau bersama Denis. Non Tara tidak mau pulang, dan Non Tara juga mengatakan akan menandatangani surat cerai itu."Brakk! Dewa membanting ponselnya ke kursi sebelah. Ia menghantam stir berulang kali, dadanya bergemuruh, emosi membuncah hebat setelah membaca pesan itu."Cepat sekali dia bersama pria lain!" desisnya penuh amarah.Dewa memejamkan matanya erat-erat, mencoba menahan gejolak dalam dada. Tarik napasnya semakin pendek, tergesa. Tanpa pikir panjang, ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tangan kirinya meraih earphone dan memasangnya ke telinga."Adit, kamu masih di sana?" tanya Dewa begitu sambungan telepon tersambung."Masih, Tuan. Tapi Non Tara dan Denis sebentar lagi akan pergi," jawab Adit dari seberang."Ikuti mereka dan kirim sharel