Semua Bab Istri yang Kau Tuduh Tidak Perawan Ternyata Kaya Raya: Bab 201 - Bab 210

"Al, sekarang gantian, aku juga mau ke toilet," ucap Catalina sambil melangkah ke toilet. Arya menghampiri Aldiano duduk di sampingnya. "Pak Rehan, Zarah titip salam buat Bapak." "Iya, salam balik buat dia ya," jawab Aldiano "Pak, itu seperti ada ular ya, disitu Pak," seru Arya pelan. "Aldiano berdiri membelalakkan matanya tertutu pada telunjuk tangan Arya di depannya. "Itu Pak!" jawab Arya, sambil sebelah tangannya menukar gelas Aldiano dan Catalina. Setelah gelas tertukar, dia menghela nafas lega. Aldiano masih kebingungan dan takut. "Di mana ularnya Ar?" "Sepertinya udah pergi Pak. Ya, sudah. Aku permisi dulu." Arya sengaja menukar gelas Aldiano dan Catalina. Karena dia sempat melihat Catalina menaburkan sesuatu di gelas Aldiano saat di dapur. "Itu kok Bu Catalina naburin apa ya? Bukannya Pak Rehan sedang sakit? Kasihan kalau dia sampai kenapa-napa. Aku harus bertindak." Maka saat itu Arya memutar otaknya mencari cari supaya gelas itu tertukar. Dan sekarang di

"Maaf, kenapa Pak? Bukankah saya sudah membuat aib, mungkin tenaga saya sudah tidak dibutuhkan." ucap Arya menunduk tak berani menatap mata Kelwin. "Besok kamu harus menikahi adik saya," ucap Kelwin dingin. Sontak saja Catalina dan Arya mendongak menatap Kelwin kaget. "Kak! Aku gak mau!" teriak Catalina mulai menangis lagi. "Catalina! Apa yang sudah kau lakukan, kamu harus menanggungnya. Toh Arya cukup tampan dan gak memalukan. Aldiano sudah pasti menolak pernikahan kamu ini!" "Kak, ditanya dulu Kak. Dia pasti mau." rengek sang adik. Walau Catalina memohon dan merengek, tetaplah Kelwin pada keputusannya. "Kamu masih punya muka untuk bertanya soal itu? Jangan membantah. Kali ini gak ada tawar menawar." kata Kelwin dengan suara bergetar menahan amarahnya. "Dan kamu Arya, besok kamu menikahi adik saya. Terserah kalian, setelah pernikahan, kalian mau pisah atau tetap menyatu sampai tua," ujar Kelwin meninggalkan mereka. Wanita itu mendongak memandang Arya. "Ini semua gar

Malam itu, di kamar Aldiano sudah terlelap kelelahan. Dia tertidur hingga menjelang pagi bermimpi yang membuatnya berteriak-teriak. Di kegelapan malam terlihat sosok pria menghampirinya dengan menggenggam pisau yang memancarkan kilat tajamnya. Dan bersiap menikamnya. Tapi Aldiano berlari. Namun, saat dia berlari, kedua kakinya serasa berat untuk diangkat. Pria itu semakin dekat. "Aku seperti kenal dengan dia. Apa dia orang jahat?" Aldiano lari masuk ke dalam mobil. Saat itu juga, pria yang menggenggam pisau naik ke dalam mobilnya untuk mengejar. Aldiano lari dengan melajukan mobilnya begitu cepat. Tapi pria itu menyusulnya dengan kecepatan kilat. Dan akhirnya pria itu menabrak mobil Aldiano. Membuat mobil Aldiano masuk jurang. "Tolooooong!" "Tolooooong!" "Aaaaaaaagh!" Puk puk puk! "Al! Aldiano? Bangun, bangun! Hei, udah pagi ini. Pagi-pagi kok mimpi yang nggak-nggak?" "Nadine? Nad, aku ingat. Aku ingat kejadian tabrakan dua tahun lalu, bukan kebetulan. Tapi disengaja oleh ora

"Apa yang aku lihat sekarang adalah seperti mimpi. Tuhan, kalau kau ijinkan aku sekali lagi untuk hidup, aku ingin menikahi wanita yang benar-benar aku cintai," Aldiano memejamkan mata. Tapi setelah mata itu terbuka, ia melihat kedatangan Nadine, memeluk dirinya sambil menangis keras. "Pa, Aldiano kenapa Pa? Kenapa bisa jadi gini Pa?" tangisan Nadine menggema di ruangan itu. Irama alat EKG masih tak beraturan. Grafik maju mundur terdengar kacau. Baru tadi pagi Aldiano menceritakan mimpi buruknya, dan rasanya baru saja tangan pria ini memeluk Nadine dengan erat. Tapi sekarang terkulai lemah tak berdaya, hingga di ambang kematian. Nadine tidak bisa terima ini. Dia belum mengungkapkan sesuatu yang penting untuk Aldiano. Air mata menggenang di pipinya. Suara tangisnya terdengar menyayat. "Al, maafin aku Al ... Kamu jangan pergi. Aku mencintai kamu Al!" Aku cinta sama kamu! Kamu dengar kan Al, aku cinta sama kamu!" pekik Nadine histeris memeluk erat tubuh Aldiano. Tak ada yan

Nadine melangkah masuk ke rumah sakit, sambil menelpon sang ayah. "Halo Nak,! sapa Stev di ujung telpon. "Pa, aku sudah di rumah sakit. Apa Aldiano di ruang yang kemarin?" "Aldiano sudah pindah ke ruang VVIP 1. Silahkan kamu kesana. Ada di lantai satu. Papa sedang ada pasien. Nanti Papa menyusul." "Baik Pa. Maaf, kalau aku mengganggu. Aku kesana sekarang," jawab Nadine melangkah cepat mencari ruang VVIP 1 di lantai 1. Maka langkahnya memasuki lif saat terbuka. Ditekannya angka 1. Hanya beberapa detik, lif terbuka di lantai 1. Ia berjalan keluar lif, mencari-cari ruangan itu. Ternyata mudah ditemukan. Nadine langsung membuka pintu ruangan itu. Di ruangan tengah terdapat ranjang pasien dengan sprei putih dan ranjang yang empuk, juga bantal dan selimut empuk dan nyaman. Di sisi kiri sebuah sofa panjang yang empuk berwarna biru bludru. Di sudut ruangan terdapat meja kecil untuk kopi. Dan vas bunga memberi sentuhan hidup di dalamnya. Cahaya lampu tergantung memancar pada lantai terb