Di butik gaun pengantin Aldiano berdiri sambil menelusuri setiap rak berisi gaun pengantin, yang sulit untuk menjadi pilihan. Semua gaun itu sangat indah."Aku bingung untuk memilih. Sebaiknya kamu aja yang pilih.""Aku maunya gaun yang sederhana, tapi terlihat elegan dan romantis."Nadine melihat satu persatu gaun yang ada di rak. Tapi Aldiano memanggil pelayan."Mbak, saya mau gaun yang sederhana, elegant dan rekomendasi di toko ini. Harga tidak menjadi masalah.""Baik Pak, tunggu sebentar," jawab pelayan masuk ke dalam.Beberapa menit kemudian, pelayan kembali membawa beberapa gaun berwarna putih berkilau."Ini ada 3 pilihan Pak. Model Victoria Swarovski, harga 14 miliar. Ada diskon 10 persen dari harga ini. Gaun ini dipenuhi permata Swarovski." pelayan memberikan gaun itu untuk di coba Nadine. Maka Nadine masuk ke kamar ganti. Beberapa menit kemudia dia keluar dengan gaun penuh dengan kristal Swarovski. Membuat seluruh tubuh dan wajahnya terlihat bercahaya. Dia memperlihatkan ke
"Aldiano menyalami Kelwin. "Ayo masuk.""Wah, rumahmu seperti istana," ucap Kelwin menyapu ruangan itu."Ternyata ada Zarah juga di sini. Kapan kamu datang Zar?""Baru aja kok. Kamu sendirian Dok—eh Kak?""Iya, aku sendirian. Kamu kenapa gak telpon aku mau kesini? Biar aku antar sekalian," tanya Kelwin duduk di samping Zarah."Aldiano berbisik ke telinga Kelwin. "Kelihatannya kamu sudah dekat dengannya.""Ya, begitulah. Hahaha. Bagaimana kamu sama Nadine? Apakah sudah di ambang pernikahan?""Aku sedang mencari tanggal. Besok kita mau lihat-lihat gaun pengantin," Jawab Aldiano."Beneran? Aku boleh ikut gak?" tanya Kelwin berbisik."Boleh dong. Kamu nginap aja disini. Biar besok kita jalan bareng," jawab Aldiano.Mereka saling bincang sampai hari berganti gelap. Dimana Zarah harus kembali, mengingat sang ayah sendirian di rumah. Akhirnya Kelwin mengantar Zarah pulang. Sebelum pulang, Kelwin mengajak Zarah makan di luar.Sesampai di restauran, Kelwin mengajaknya duduk di kursi sudut yang
"Zarah, aku bener-bener mengucapkan terima kasih sama kamu. Aku sangat berterima kasih sama kamu dan ayah kamu. Tapi maaf, aku tidak bisa menjadi kekasih kamu. Karena ada masalalu yang belum aku selesaikan. Aku sudah mempunyai calon istri. Aku minta maaf yah," ucap Aldiano memberi pengertian pada Zarah. "Nggak, aku gak mau Rehan. Aku sudah mencintai kamu. Aku udah berusaha melupakan kamu selama ini. Tapi sulit. Aku gak bisa," tangis Zarah semakin keras. Nadine turun dari mobil menghampir Aldino yang masih dalam pelukan Zarah. "Aldiano, lebih baik suruh masuk aja ke dalam. Malu dilihat orang. Silahkan kamu kasih pengertian sama dia." Aldiano melepaskan pelukan Zarah yang semakin erat. "Nggak, Aku nggak mau kehilangan kamu. Tolong nikahin aku Rehan," "Zarah, kita harus bicara di dalam. Jangan seperti ini. Ayo masuk ke dalam mobilku." Akhirnya Zarah masuk ke dalam mobil duduk di samping Nadine. "Ma, ini Tante siapa?" tanya Albert memandang Zarah. "Ini Tante Zarah sayang
Stev tiba-tiba ada di belakang Nadine, entah sejak kapan dia ada disana. Wajahnya berbinar. Bibirnya tersenyum mendengar kedua anaknya saling jatuh cinta."Papa akan mengurus pernikahan kalian secepatnya. Papa bahagia sekali kalau kalian memang sudah saling cinta. Dan Papa juga baru tahu, kalau kalian sudah lama saling kenal."Suara Stev mengagetkan Nadine dan Aldiano. Nadine membalikkan badannya. Wajahnya memerah tanda tersipu."Papa? Papa sejak kapan di sini?""Hahaha, itu gak penting. Yang penting, Papa mau punya cucu dari kamu Nadine. Umur kamu sudah cukup loh. Berilah Papa Mama cucu."Nadine dan Aldiano saling pandang, dan tertawa kecil."Pa, sejak kapan Aldiano mulai bisa mengingat lagi?" tanya Nadine. "Kok aku gak tahu?""Mulai sejak dia melewati masa kritisnya, Aldiano sudah ingat semua. Oh, iya. Dokter Martin mengatakan, pergeseran tulang di kepala Aldiano sudah pulih seperti semula." kata Stev sambil membuka amplop coklat besar, berisi hasil CT scan milik Aldiano.Stev menun
Nadine melangkah masuk ke rumah sakit, sambil menelpon sang ayah. "Halo Nak,! sapa Stev di ujung telpon. "Pa, aku sudah di rumah sakit. Apa Aldiano di ruang yang kemarin?" "Aldiano sudah pindah ke ruang VVIP 1. Silahkan kamu kesana. Ada di lantai satu. Papa sedang ada pasien. Nanti Papa menyusul." "Baik Pa. Maaf, kalau aku mengganggu. Aku kesana sekarang," jawab Nadine melangkah cepat mencari ruang VVIP 1 di lantai 1. Maka langkahnya memasuki lif saat terbuka. Ditekannya angka 1. Hanya beberapa detik, lif terbuka di lantai 1. Ia berjalan keluar lif, mencari-cari ruangan itu. Ternyata mudah ditemukan. Nadine langsung membuka pintu ruangan itu. Di ruangan tengah terdapat ranjang pasien dengan sprei putih dan ranjang yang empuk, juga bantal dan selimut empuk dan nyaman. Di sisi kiri sebuah sofa panjang yang empuk berwarna biru bludru. Di sudut ruangan terdapat meja kecil untuk kopi. Dan vas bunga memberi sentuhan hidup di dalamnya. Cahaya lampu tergantung memancar pada lantai terb
"Baik yang Mulia ... Ijinkan saya untuk bicara," suara Milthon bergetar. Tangannya mengepal. Hatinya bergolak, seolah sedang bergelut dengan batin yang terpendam sejak lama. Hakim menatap pria itu dengan tatapan tajam."Silahkan, setiap peryataan yang anda ungkapkan akan dicatat dalam persidangan hari ini."Milthon menarik nafas dalam. "Saya akui, saya memang bersalah.Sontak saja suara riuh memenuhi ruangan. Bisik-bisik pada pengunjung dan wartawan terdengar menyakitkan bagi Milthon. Bagaimana tidak, seorang pengacara melakukan tindak pidana yang memalukan.Catalina menoleh ke pria itu, lalu diam membeku. Wajahnya memerah. Tak percaya dengan apa yang dikatakan Milthon.Ingatannya ke masa beberapa tahun lalu. Milthon yang di anggapnya teman baik, dan pernah mengungkapkan cinta, tapi Catalina menolaknya dengan tegas.Suara Milton kembali terdengar gemetar. "Saya akui, saya pernah menyukai Catalina. Dan saya pernah mengungkapkan cinta saya kepadanya. Tapi beliau menolak cinta saya denga