Clara terkekeh lirih. Matanya basah, tapi bukan karena sedih—melainkan frustrasi. “Kamu pikir kamu bisa ambil semua ini dari aku? Dia, perusahaannya, bahkan anak yang harusnya...!”“Kamu gila,” bisik Adellia.Clara mendekat lebih agresif. “Aku nggak akan diam. Kalau Keenan nggak mau denger aku, kamu yang harus dengar! Kamu pikir dia mencintaimu karena kamu istimewa? Tidak. Kamu cuma pelarian. Dia kesepian. Sama kayak aku.”“Tapi aku nggak menyakiti orang lain hanya karena kesepian!” balas Adellia lantang. Ia menarik napas, mencoba menahan emosi. “Clara, aku kasihan sama kamu. Tapi ini bukan caranya.”Clara gemetar, masih menggenggam lengan Adellia.“Bukankah kamu yang bilang, kalau aku butuh teman ngobrol, kamu siap menjadi pendengarnya?”Suara itu membuat bulu kuduk Adellia berdiri.Dengan wajah pucat, mata merah, dan senyuman miring yang jauh dari waras. Tangan Clara mencengkram sesuatu di balik jaketnya, tapi Adellia terlalu fokus pada sorot matanya yang membara.Adellia menyipit.
Terakhir Diperbarui : 2025-05-18 Baca selengkapnya