Setelah langkah Tara menghilang di balik pintu kaca, menyisakan keheningan yang terasa menggantung di udara, Mahesa berkata pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri, “Tara sebenarnya gak seburuk itu.”Baru beberapa menit lalu ia hampir menghantam wajah Tara dengan tinjunya. Tapi sekarang? Nada suaranya lembut, nyaris bersahabat.Nadira meliriknya cepat, sorot matanya sinis dan penuh ironi.“Laki-laki memang begitu ya,” ucapnya, seperti mengunyah kata-kata dengan geram. “Pagi musuhan, sore makan bareng.”Mahesa mengangkat alis sedikit, tersenyum tipis. Bukan senyum puas, tapi semacam senyum kenangan yang enggan pergi.“Kita ini satu keluarga.”Kata ‘keluarga’ menggantung seperti asap dupa di udara—aromanya samar tapi membekas. Nadira memalingkan wajah, membatin dengan getir, Keluarga dari mana?“Siapa juga yang keluarga sama kamu?” balasnya ketus, lalu melangkah cepat ke arah mobil.Ia sudah setengah menutup pi
Terakhir Diperbarui : 2025-08-16 Baca selengkapnya