Nadira tak banyak berkata. Wajahnya datar, tenang seperti danau sebelum badai. Ia mengangkat sebuah ketapel otomatis berwarna hijau tua, hadiah dari Tara saat kumpul keluarga tahun lalu, dan mengarahkannya tanpa ragu.Gerakannya cepat dan mantap, nyaris tanpa suara. Tama sontak menunduk, berlindung di balik tubuh Gilang seperti anak ayam di bawah induknya, meski tubuh Gilang tak cukup lebar untuk jadi perisai.Di seberang ruangan, Nayaka belum selesai menyelesaikan leluconnya. Sudut bibirnya masih mengangkat sisa tawa saat matanya melirik ke arah Nadira.Tapi ekspresi sang adik membuatnya berhenti sejenak, ragu. Dahi Nadira berkerut, rahangnya mengeras.Nayaka menghela napas, mencoba meredakan tensi dengan gaya santainya yang khas. “Aku nggak pernah ngerti,” ujarnya sambil mengangkat bahu, “adik kita ini dari kecil jeniusnya nggak kira-kira. Main kecapi, catur, kaligrafi, melukis… semua langsung bisa. Guru-guru privat sampe antre minta jadi mentornya.”
Last Updated : 2025-08-27 Read more