All Chapters of Gairah Panas Atasan Mantan: Chapter 291 - Chapter 300

Dandi langsung menuju ke rumah sakit begitu mendapat telepon dari rumah sakit yang mengatakan kalau atasannya berada di UGD.Ia mengemudi dengan tangan yang sedikit gemetar, pikirannya kacau. Sudah ia duga, kedatangan Raja ke rumah Margaretha pasti tidak akan berakhir dengan damai dan baik-baik saja. Rasanya, sejak pagi ia sudah punya firasat buruk. Telepon dari pihak rumah sakit barusan hanya mengonfirmasi apa yang tadi sebenarnya sempat ia khawatirkan.Di dalam benaknya, Dandi memutar semua kemungkinan. Setahu Dandi, Margaretha bukan perempuan yang bisa dengan mudah diperlakukan buruk apalagi dikhianati tanpa perlawanan. Perempuan itu tidak akan pernah membiarkan harga dirinya di obrak-abrik, apalagi keluarganya. Membayangkan saja dirinya tidak mampu berkata-kata. Apalagi sampai melihat kondisi Raja nanti.Margaretha memiliki seorang kakak yang terkenal sebagai mantan preman. Papanya Margaretha juga mantan preman, meskipun sekarang mereka sudah berubah dan menjadi pengusaha sukses.

Di sisi lain, tepatnya di apartemen Raja, Merry dan bibinya sedang berbincang.Wanita paruh baya itu menatap iba pada Merry yang malang. Ia berdiri beberapa langkah dari sofa, matanya memperhatikan keponakannya yang tampak semakin rapuh setiap harinya. Suasana di apartemen itu terasa sunyi, seakan seluruh dunia ikut bungkam menyaksikan kesedihan Merry.“Makanlah dulu. Bibi sudah selesai masak. Kamu masih ingat kan apa pesan Tuan Raja? Kamu harus makan yang banyak dan menjaga kesehatan janinmu,” ucap wanita paruh baya itu pada ponakannya yang saat ini duduk di sofa ruang tamu apartemen Raja. Suaranya terdengar penuh kasih, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang menekan dadanya.Dia juga terlihat sangat hancur ketika melihat keponakannya seperti ini. Cita-citanya memiliki keponakan dengan pekerjaan yang sangat bagus hilang sudah. Dia yang membiayai Merry sekolah dan berharap suatu saat nanti sang keponakan punya pegangan hidup. Namun sayangnya semua tak bisa dihindari. Rencana yang

Di sisi lain, tepatnya di rumah sakit, hasil laboratorium Raja baru saja keluar. Ruang UGD terasa lebih lengang dibandingkan tadi ketika Raja baru saja masuk. Di atas ranjang pasien, Raja masih berbaring, matanya terbuka setengah. Raut wajahnya lelah, dan bekas memar di pipi kirinya tampak mencolok.Dandi duduk di kursi di samping ranjang, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Ia memainkan ponsel sebentar untuk mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang sejak tadi menumpuk. Begitu mendengar langkah kaki yang mendekat, ia langsung menoleh.Dokter datang menghampiri Dandi yang sedang menemani Raja. Dengan jas putih rapi dan clipboard di tangan, dokter tampak profesional. Dandi segera berdiri.“Selamat siang, Dokter,” sapa Dandi, mencoba terdengar sopan meski hatinya masih was-was.“Selamat siang, pak. Hasil laboratorium pasien sudah keluar,” jawab dokter sambil memeriksa lagi berkas yang dibawanya. “Pasien tidak menderita penyakit apa pun selain luka di wajah yang saat ini suda

Setelah pembicaraan dengan Merry dan bibinya usai, Raja berjalan perlahan menuju kamarnya. Setiap langkah terasa berat, seolah seluruh beban yang menumpuk di dadanya membuat tubuhnya kian lemah. Begitu pintu kamar tertutup, ia langsung merebahkan diri di ranjang tanpa melepas pakaiannya. Luka di wajahnya masih terasa perih, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka di hatinya.Ia menatap kosong ke langit-langit kamar. Meski tubuhnya ingin beristirahat, pikirannya menolak untuk diam. Bayangan wajah Margaretha terus melintas di benaknya—mata Margaretha yang dulu selalu berbinar saat memandangnya, senyum yang selalu berhasil membuat hari-harinya terasa hangat, dan suara lembut yang sering menyemangatinya saat ia hampir menyerah pada tekanan pekerjaan. Semua kenangan itu kini terasa begitu jauh, seakan hanyut terbawa sesuatu yang tak bisa ia hentikan.Raja memejamkan mata, berharap gelap bisa memberinya ketenangan. Namun, justru dalam gelap itu ia melihat lagi bayangan Margaretha menangis.

Keluar dari coffee shop, Dandi menarik napas panjang sambil merapikan jasnya. Pertemuan dengan Coleman barusan terasa menegangkan, meski ia sudah terbiasa menghadapi situasi sulit. Di tangannya, amplop kosong bekas tempat uang muka masih terlipat rapi. Ia memasukkannya ke saku dalam jas sambil melangkah cepat menuju tempat parkir.Langit sore New York mulai memudar, warna oranye tipis terganti oleh abu-abu kota. Dandi membuka pintu mobilnya, lalu duduk di kursi pengemudi. Begitu pintu tertutup, ia menghela napas keras. “Semoga Coleman bisa bekerja cepat,” gumamnya lirih, seolah meyakinkan dirinya sendiri.Ia menyalakan mesin mobil, suara deru mesin menyela pikirannya. Jalanan kota padat, klakson terdengar dari berbagai arah, dan pejalan kaki memenuhi trotoar. Dandi menatap lurus ke depan, pikirannya melayang pada Raja. Wajah atasannya yang babak belur di rumah sakit siang tadi terus muncul di benaknya. Ia tahu Raja mencoba terlihat tegar, tapi ia juga tahu luka yang tak terlihat jauh