All Chapters of Pembantu Cantik Pemuas Hasrat Sang Pewaris: Chapter 41 - Chapter 50

“Tidak bisa, Papa sedang sibuk!”Suara Anila terdengar cepat dan tajam, seolah ingin memutus langkah Arsila yang mengatakan ingin bertemu dengan ayahnya. Dia tidak tahu, ini hanyalah pancingan. Arsila hanya ingin melihat tanggapan mereka.Arsila menaikkan alisnya. “Sibuk?” Dia menoleh pada Pak Heru yang berdiri tak jauh, wajahnya jelas kebingungan dengan situasi ini. “Bukankah kata Pak Heru, Papaku gak sibuk?”Anila terdiam sepersekian detik. Wajahnya memerah, kali ini bukan karena malu, tapi karena tertangkap basah berbohong. Dia mencoba tetap tenang, walau rahangnya menegang menahan emosi. Di depan publik, Anila tak bisa kehilangan kendali.“Arsila, kau itu mau apa bertemu Papa? Apakah kau lupa kalau kau itu sudah dicoret dari keluarga Jusman?” tanya Anila dengan senyuman sinis, mengejek dan merasa menang membuat malu Arsila di depan para karyawan.“Memangnya bertemu Papa kandung sendiri harus berada di dalam kartu keluarga yang sama?”“Kau itu sudah membuat malu keluarga Jusman! Pa

“Samuel, apa yang kau katakan?”“Kimi bukan anakku. Apa tidak jelas, Mom?”“Kamu berbohong, kan?” tanya Mutia lagi untuk memastikan.“Untuk apa aku bohong, Mom? Lagian ini masalah serius, tidak mungkin aku main-main.”Suara denting jam dinding mengisi kesunyian kamar Samuel. Di luar, langit sudah mulai gelap, menandakan malam segera tiba. Namun suasana hati di dalam rumah keluarga Nugraha jauh lebih gelap daripada langit sore itu.Mutia berdiri di ambang pintu kamar putranya dengan napas memburu. Matanya tajam, namun sorotnya bergetar.“Samuel, kamu jangan bicara sembarangan! Kamu tahu apa yang kamu katakan ini bisa menghancurkan semuanya!” bentaknya kesal, suara tingginya memantul di dinding kamar.Bagi Mutia, ini pasti hanyalah akal-akalan Samuel yang menolak menikah dengan Viola. Sengaja mengatakan Kimi bukan anaknya, padahal selama ini Mutia bisa melihat kalau Samuel cukup baik kepada Kimi.“Apa kamu tega dengan anak kecil seperti Kimi?” tanya Mutia.Samuel menoleh, tatapannya ten

“Mommy, tolong aku,” rengek Viola sambil memegang tangan Mutia. Suaranya parau, penuh rasa takut dan putus asa. Matanya basah, bibirnya gemetar, tubuhnya nyaris tak sanggup berdiri tegak lagi.Semua yang dia tutupi kini terbongkar. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Begitu juga dengan Viola, sekalipun dia bisa menipu seluruh keluarga Nugraha, itu tidak akan lama.Dan kini, dia dibuang. Semua karena kesalahannya.Mutia menatapnya, matanya berkabut. Hati kecilnya sempat goyah melihat wajah yang selama ini dia perlakukan seperti anak sendiri. Viola memang bukan darah dagingnya, namun selama beberapa bulan terakhir, kehadiran Kimi, cucu kecil yang menggemaskan itu, membuat Mutia mengabaikan banyak keraguan.Keinginan keluarga Nugraha memiliki cucu yang begitu kuat, kehadiran Kimi pastinya membawa harapan besar untuk mereka. Tapi, ternyata semua hanya kebohongan Viola. Namun, Mutia bisa melihat ketulusan Viola berubah. Dia pikir, mungkin semua in

“Hah? Apa?” tanya Arsila, alisnya terangkat tinggi, ekspresi bingung tergambar jelas di wajahnya.Jelas saja dia bingung, Samuel dengan entengnya mengatakan akan membantunya. Sedangkan dia siapa? Samual siapa? Arsila memperjuangkan Jusman Group, dan itu perusahaan saingan Nugraha Group.Samuel menatapnya tenang, seolah kata-kata yang baru saja dia ucapkan adalah hal paling biasa di dunia.“Kenapa? Kok kamu malah terkejut gitu? Gak percaya sama aku?” balas Samuel ringan.“Kamu sadar dengan apa yang baru kamu katakan?” Arsila terkekeh kecil, mencoba menutupi rasa terkejutnya. “Kamu mau membantuku?”“Ya sadarlah. Kamu pikir aku lagi mabuk? Memangnya salah kalau aku membantu?” Samuel mengernyit.“Gak salah sih…” Arsila menarik nafas, matanya menyipit waspada. “Tapi kita ini bukan orang yang sedang bersekutu, kan? Jangan berpikir untuk memanfaatkan aku ya. Aku merebut Jusman Group, untuk kembali maju. Jangan berpikir kamu bisa menundukkan aku.”Samuel menggeleng pelan. “Aku sama sekali tid

Langit malam menggantung kelabu di atas atap mobil yang berhenti. Lampu temaram menyala di halam kontrakan, memantulkan siluet dua sosok di dalam kendaraan yang sunyi, hanya diiringi embusan nafas dan ketegangan yang kian menebal."Kau tahu apa yang akan terjadi kalau kita melakukan itu?" tanya Arsila, suaranya tenang namun jelas mengandung gemuruh batin yang sulit dia redam.Samuel memandangnya dengan tatapan yakin. "Tahu. Tapi, aku siap."Kata-kata Samuel terdengar mantap, namun di telinga Arsila, kalimat itu justru membebani. Dia tahu keberanian semacam itu akan berakhir dengan luka—bukan hanya luka bagi mereka berdua, tapi juga luka bagi banyak orang di belakang mereka. Perlahan, dia menghela napas panjang, seakan menimbang ribuan hal dalam sekejap."Tapi, aku tidak bisa, Samuel," akhirnya Arsila menjawab.Samuel tak segera bereaksi. Namun matanya, mata yang selama ini menatap dengan tegas sebagai seorang pewaris tunggal keluarga Nugraha, kini terlihat rapuh. Di balik tatapan i