Neina duduk di lantai, memeluk lututnya erat. Laptop sudah ia tutup, tapi bayangan foto-foto itu masih jelas di matanya. Foto Daniswara yang duduk dengan seorang pria asing, foto mobil yang ringsek, headline koran dengan nama ayah dan ibunya—semua seolah melekat di retina, tak bisa ia usir.Air matanya sudah berhenti, tapi dadanya masih terasa sesak. Tatapannya kosong, menembus pada bayangan masa lalu yang penuh luka baginya. Tiba-tiba pintu kamarnya berderit. Neina menoleh cepat, panik, takut seseorang melihatnya dalam keadaan ini.“Non Neina?” suara lembut itu lagi. Bibi Raras muncul sambil membawa nampan berisi secangkir teh hangat. “Saya tahu Nona bilang tidak lapar, tapi setidaknya minumlah ini. Teh bisa menenangkan.”Neina buru-buru menyeka wajahnya, berusaha tersenyum. “Terima kasih, Bu… Maaf, aku merepotkan.” Ia memaksa senyum, di balik kedua mata yang memerah akibat menangis. “Tidak ada kata repot untuk saya, Nona.” Bibi Raras meletakkan nampan di meja samping ranjang, lal
Huling Na-update : 2025-09-28 Magbasa pa