All Chapters of Magang Jadi Istri CEO: Chapter 31 - Chapter 40

Rayhan langsung membulatkan matanya, berpura-pura ngeri dengan ceritaku, “Ya ampun, ngeri banget kamu nyeritainnya. Amit-amit kalo saya mimpi buruk nanti malem,” ujarnya dengan mengetuk-ngetuk kasur dengan pelan.Aku melipat tanganku di depan dada, “Tapi, ini serius, Rayhan. Kamu yakin ini worth it buat kita kunjungi? Kita beneran bakal aman kan di sana?” ulangku kembali memastikan.Rayhan mengangguk dengan mantap, “Udah pasti aman, Kay. Semua destinasi yang ditawarin sama mereka itu udah diatur pihak guide profesional yang udah kerja sama puluhan tahun sama pemerintah di sana. Mereka punya pemandu lokal, ada aturan super ketat soal jarak dan keamanan bagi para wisatawan, makanya mereka nggak nerima wisatawan dalam jumlah yang besar dan di waktu yang bersamaan. Dan, tiap aktivitas yang kita lakuin selalu ada ranger yang bakal ngejagain keselamatan kita. Nggak mungkin juga kita disuruh tidur bareng singa, kok, malah destinasi andalannya itu ada hewan nocturnal yang singgah di tenda kit

Seharian berada di kantor rasanya udah kayak di neraka tapi versi lite-nya. Aku cuma duduk diam di depan layar monitor, tapi otakku nggak nyambung sama sekali sementara tanganku cuma gerak-gerak nggak jelas buat pencitraan aja. Isi kepala? Full sama manusia bernama Rayhan.Biasanya, sesekali aku masih bisa ngeliat dia yang lewat di depan ruangan dengan langkah tegapnya, atau sekadar denger suaranya pas dia lagi ngobrol di lorong kantor. Tapi hari ini... bener-bener menghilang gitu aja tanpa jejak. Aku bahkan sempet sengaja ke pantry dengan harapan bisa ketemu dia secara nggak sengaja. Tapi yang ada malah ketemu Fina. Dia langsung ngelirik aku dari atas sampai bawah, ekspresinya kayak mau ngebedah isi kepalaku.“Lo tumben banget ke sini,” ujarnya menatapku menelisik.“Pengen ngopi,” jawabku entah apa. Lalu pergi ninggalin dia gitu aja dengan tangan kosong tak sesuai dengan jawabanku sebelumnya.Aku kembali menghela napas setelah duduk di depan komputer, tapi kursor di layar nggak berge

Tapi sebelum aku sempat memutuskan mau detox, nangis, atau tiba-tiba lari muncak ke Gunung Himalaya, alarm HP-ku meledak dengan suara yang kenceng banget kayak sirene darurat tsunami di pagi buta. Refleks aku menutup kedua telingaku dan berharap jika itu cuma mimpi dan khayalanku.“ARGHHH!” Aku langsung mendudukkan diriku, rambut masih awut-awutan, mata nahan kantuk, jantung kaget kayak abis lari marathon puluhan kilometer. “Astaga ... baru juga mau tidur ..,.” ujarku memonyongkan bibir. Sementara tanganku merangsak meraih ponsel dengan cepat.“KERJA, WOY!!! GAK USAH NANGIS MULU!!”Begitu tulisan yang tertera di layar.Kupelototin layar ponsel sekali lagi dan memastikan angka yang menunjukkan jam berapa saat ini. 05.30 AM. Aku menghembuskan napas panjang banget, seakan mengeluarkan semua beban yang bergelantungan di dalam dadaku. Thanks to my past self yang iseng nyetel alarm dengan caption yang cukup pedas kayak gini. Tapi tetap aja rasanya pengen banting HP dan pura-pura amnesia sat

“Kayla, datanya kenapa dobel semua gini, sih? Ini laporan buat klien penting, lho. Masa ngerjainnya asal-asalan?” Suara Mbak Rika yang kini tepat berdiri di sampingku berhasil membuat bulu kudukku meremang.Aku melirik ke layar monitor yang masih menampilkan deretan angka di Excel. Pandanganku seketika buram, kesalahan itu keliatan jelas banget. Do-bel, padahal harusnya clean ... rapi. ... rapat. Sekarang malah berantakan kayak isi pikiranku.“Kamu lagi nggak fokus, ya, Kayla?” tegur Mbak Rika dengan nada yang mulai turun satu oktaf.Aku menelan ludah dengan susah payah, “Iya, maaf banget, Mbak … Aku beneran nggak nyadar,” ujarku dengan menundukkan kepala dengan jantung yang udah berdebar nggak karuan.“Saya tau kamu anaknya teliti, tapi kalo tiba-tiba kurang teliti di saat yang nggak tepat ... itu bisa nyusahin tim kita sendiri. Saya harus minta Andi buat ngecek ulang data kamu lagi, dan itu pasti makan banyak waktu.”Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal, “Aku bener-bener minta maaf,

Aku bahkan nggak bisa ngejawab apapun lagi, tapi tatapan di mataku udah cukup menjelaskan semua pertanyaan di benak Fina. Aku menatapnya yang masih menggelengkan kepala dengan senyum getir di bibirnya.“Gila. Gila ini, beneran. Pantesan gue nggak pernah dibolehin main ke kost lo lagi,” jawabnya dengan menggelengkan kepala."Nggak gitu maksud gue, Fin," ralatku dengan cepat.Ia masih tertawa, tapi ada nada getir yang susah buat bisa aku baca. Antara kesal, kaget, sama—mungkin—nggak rela? “Jadi ... intinya lo beneran tinggal bareng cowok nikah kontrak lo itu, kan?” Kali ini nada suaranya naik setengah oktaf. “Gue nggak tau harus muji keberanian lo apa nyuruh lo ke psikolog sekarang juga karena otak lo mulai geser.”Aku menutup wajah menggunakan kedua tangan dan mengusapnya kasar. “Jangan gitu dong,” ujarku memelas.“Gue serius, Kay. Gue pikir lo cuma main-main aja mau nge-prank gue, tapi ternyata cara main lo udah kejauhan gitu, yang gue aja nggak habis pikir ... sekarang gue bahkan ngga