Semua Bab Benteng Terakhir Pernikahan: Bab 31 - Bab 40

Hari masih pagi saat Dewi membersihkan sisa air di tubuh Nico menggunakan handuk berwarna biru muda. Kadang dirinya bersenandung atau menirukan suara-suara yang dikeluarkan oleh cucunya. Kaki mungil Nico menendang-nendang setiap kali Dewi membersihkan bagian bawah tubuh mungil itu.Jika dulu Dewi anti datang terlambat ke floris-nya, kini dia selalu memilih memandikan cucunya terlebih dahulu meski sudah ada baby sitter yang disewa Laras. Setelah itu dia akan menggendong cucunya untuk mandi sinar matahari pagi di halaman rumah.Kehadiran Nico benar-benar menjadi hujan di tengah kemarau panjang dalam kehidupan Laras. Jika dulu banyak orang mencibir padanya, kini mereka memandang dengan iri karena Laras memiliki Nico yang lucu dan tampan.Sudah tak ada yang peduli siapa ayah Nico, atau setidaknya bukan itu yang mereka sampaikan pada Laras. Mereka akan memuji Nico, dan berebut foto dengannya. Hanya Tante Winda dan keluarganya, yang Laras percaya karena paksaan

Pramudita Galeri masih lengang ketika Lia keluar ruangan dengan membawa botol bayi kosong menuju pantry. Hanya Nadia yang berada di kelas pahat dan seorang helper yang sedang membersihkan lantai. Masih pukul delapan lewat tiga lima, bahkan petugas front office pun belum datang.Di ruang kelas lukis, Laras menidurkan Nico di dalam kereta bayinya. Perut yang kenyang membuat tidur Nico begitu lelap. Laras duduk di sampingnya, jarinya lembut membelai rambut hitam lebat putranya. Mirip sekali dengan rambut Bima, batinnya.Samar-samar terdengar senandung kecil dari bibirnya, sampai sebuah dehaman pelan dari arah pintu membuatnya terhenti.Laras melihat Dimas berdiri di ambang pintu. Dahinya berkerut. Beberapa hari belakangan memang sering dilihatnya Dimas di galeri. Mungkin ada lukisan yang tertarik ia beli.Tak ingin mengganggu Nico, perlahan dirinya bangkit dan menemui Dimas. Diliriknya meja depan yang masih kosong.“Rahma belum datang, ya?”

Haris melihat jam tangannya, sudah pukul setengah satu siang. Ditekannya klakson untuk memaksa mobil di depannya melaju. Kemacetan Ibukota semakin parah di musim hujan. Bukan hanya jumlah kendaraan yang padat dan ingin segera sampai tujuan, namun juga jalanan yang berlubang dan tergenang air hujan.Setengah dari jam makan siang sudah ia habiskan di jalan. Haris ingin segera sampai di restoran. Bukan karena dia lapar, bukan juga karena dia memiliki jam makan siang seperti kebanyakan pegawai kantor lainnya. Dia hanya ingin bertemu Nindya.Senin siang baginya adalah hari yang paling ia tunggu. Meski kadang Nindya tak datang, namun harapan yang sudah ada untuk bisa bertemu Nindya, memberinya semangat tersendiri. Entah ke mana dirinya bulan lalu yang dengan mantap mengatakan akan mengubur perasaannya pada istri orang itu. Kini dia menyadari kalau dirinya sedang bermain api.“Sial!” Haris mengetuk-ngetuk stir mobilnya. Lampu merah baru saja menyala, membuat dia

Halaman parkir Kencana floris dan Pramudita Galeri cukup ramai. Cuaca panas yang jarang di musim hujan membuat orang lebih bersemangat keluar rumah untuk mengurus urusan mereka atau hadir di kelas melukis.Laras berkonsentrasi di depan kanvasnya. Sesekali ia berkeliling melihat hasil coretan para muridnya. Kelas melukis tidak seperti kelas pelajaran mutlak. Tak ada salah dan benar, yang ada adalah hasil buah pikiran dan imajinasi yang disalurkan melalui kuas.Ada sembilan orang yang hadir di kelasnya siang ini. Hanya dua yang absen. Masing-masing memiliki gaya coretannya sendiri-sendiri. Tak jarang, Laras merasa kagum dengan bakat yang dimiliki muridnya, kadang dia berdiri cukup lama untuk melihat satu dua lukisan yang sedang mereka kerjakan.Tapi siang ini, konsentrasi mengajarnya agak terbagi. Pikirannya ikut terbang bersama Bima di Yogyakarta. Apakah Bima akan melupakan Nico jika Nindya hamil?Meski tak ada sumbangsih Bima pada Nico hingga saat

Sinar matahari masuk melalui tirai jendela yang dibuka sebagian oleh Nindya. Cuaca di luar cukup cerah untuk menikmati wisata pantai yang akan mereka lakukan hari ini.Nindya tersenyum sambil melihat Bima yang masih terlelap di tempat tidur. Semalam mereka pulang cukup larut dan sepertinya Bima tidur lebih lambat dibandingkan dirinya. Nindya ingat, badannya sudah lelah dan matanya lengket begitu sampai di hotel.Dilihatnya penanda waktu di ponselnya, pukul enam pagi. Mereka harus segera sarapan dan berangkat jika tak ingin sampai di pantai terlalu siang.Diciumnya kening Bima, hal yang dulu selalu dia lakukan untuk membangunkan suaminya itu. “Bim... bangun. Kita harus sarapan,” bisiknya pelan.Bima menggeliat. Matanya masih akan terpejam kalau tidak diingatnya satu hal. Bima melihat Nindya duduk di sampingnya. Dia mengangguk.Nindya berlalu ke kamar mandi, membiarkan Bima mengumpulkan kesadarannya. Namun kesadaran Bima sebenarnya sudah pu