Share

Chapter 38

Author: Alexa Rd
last update Last Updated: 2025-09-19 11:00:11

Halaman parkir Kencana floris dan Pramudita Galeri cukup ramai. Cuaca panas yang jarang di musim hujan membuat orang lebih bersemangat keluar rumah untuk mengurus urusan mereka atau hadir di kelas melukis.

Laras berkonsentrasi di depan kanvasnya. Sesekali ia berkeliling melihat hasil coretan para muridnya. Kelas melukis tidak seperti kelas pelajaran mutlak. Tak ada salah dan benar, yang ada adalah hasil buah pikiran dan imajinasi yang disalurkan melalui kuas.

Ada sembilan orang yang hadir di kelasnya siang ini. Hanya dua yang absen. Masing-masing memiliki gaya coretannya sendiri-sendiri. Tak jarang, Laras merasa kagum dengan bakat yang dimiliki muridnya, kadang dia berdiri cukup lama untuk melihat satu dua lukisan yang sedang mereka kerjakan.

Tapi siang ini, konsentrasi mengajarnya agak terbagi. Pikirannya ikut terbang bersama Bima di Yogyakarta. Apakah Bima akan melupakan Nico jika Nindya hamil?

Meski tak ada sumbangsih Bima pada Nico hingga saat
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 42

    Lorong bangsal anak itu terasa dingin meski pendingin ruangan tak begitu kuat. Aroma khas antiseptik bercampur bau obat sirop yang manis memenuhi udara. Sesekali terdengar tangisan anak kecil yang baru saja disuntik atau minum obat, bersahut-sahutan dengan suara perawat yang mencoba menenangkan.Dindingnya dipenuhi gambar kartun warna-warni, berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa di balik pintu-pintu kamar, ada tubuh mungil yang sedang berjuang melawan sakit. Bima melangkah pelan, dadanya terasa berat.Di depan pintu bercat putih dengan nomor kamar 214, ia berhenti. Nama Nico tertulis di papan kecil di samping pintu. Saat pintu itu dibuka, udara lebih lembap menyergap.Laras yang sedari tadi memegang tangan Nico segera melihat ke arah pintu. “Bim,”Bima tak memedulikan Laras. Dilihatnya Nico terbaring di ranjang khusus bayi, tubuhnya tampak begitu kecil di antara seprei putih rumah sakit. Selang oksigen menempel di hidungnya, menyalurkan udara ag

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 41

    Matahari masih terik saat Nindya sampai di Jakarta. Dari dalam taksi bandara, dilihatnya kembali udara ibukota yang pekat. Asap-asap knalpot terlihat mengepul ketika ia melewati jalanan padat.Masih hari Jum’at, seharusnya dia dan Bima baru kembali hari Minggu atau Senin besok. Tapi siapa yang bisa tahan dengan situasi yang sudah terjadi. Dia bahkan tak yakin bisa melihat wajah Bima saat ini.Bukan Nindya tak tahu kalau Bima sering melihat foto Nico dalam unggahan Laras, namun dia selalu mencoba untuk memahami. Bagaimana pun Bima adalah ayahnya. Dan jika diposisikan sebagai Om pun, hal itu masih wajar.Lain halnya dengan masalah ini. Bukan hanya Bima meminta mereka segera pulang, namun juga Bima telah menuduhnya, menyalahkannya sebagai penyebab dinginnya rumah tangga mereka. Nindya tak terima.Meski selalu dikuatkannya dirinya untuk tidak melihat Nico sebagai bukti perselingkuhan Bima, tetapi otak manusia diciptakan untuk mengingat, bukan melupaka

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 40

    Sinar matahari masuk melalui tirai jendela yang dibuka sebagian oleh Nindya. Cuaca di luar cukup cerah untuk menikmati wisata pantai yang akan mereka lakukan hari ini.Nindya tersenyum sambil melihat Bima yang masih terlelap di tempat tidur. Semalam mereka pulang cukup larut dan sepertinya Bima tidur lebih lambat dibandingkan dirinya. Nindya ingat, badannya sudah lelah dan matanya lengket begitu sampai di hotel.Dilihatnya penanda waktu di ponselnya, pukul enam pagi. Mereka harus segera sarapan dan berangkat jika tak ingin sampai di pantai terlalu siang.Diciumnya kening Bima, hal yang dulu selalu dia lakukan untuk membangunkan suaminya itu. “Bim... bangun. Kita harus sarapan,” bisiknya pelan.Bima menggeliat. Matanya masih akan terpejam kalau tidak diingatnya satu hal. Bima melihat Nindya duduk di sampingnya. Dia mengangguk.Nindya berlalu ke kamar mandi, membiarkan Bima mengumpulkan kesadarannya. Namun kesadaran Bima sebenarnya sudah pu

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 39

    Bima dan Nindya berjalan bergandengan menyibak kerumunan pengunjung jalan Malioboro. Meski bukan weekend, Malioboro tak pernah betul-betul sepi. Kanan kirinya masih ramai pertokoan yang memamerkan pakaian, tas, buah tangan khas Yogyakarta.Sesekali mereka duduk di kursi yang disediakan, menghilangkan penat kaki dan melihat kereta kuda yang terparkir menunggu penumpang. Meski para kusir harus bersaing dengan ojek dan bentor, namun mengendarai kereta kuda selalu menjadi pilihan menarik khususnya bagi para turis asing.Bima menyodorkan air mineral yang dibelinya tadi. Berjalan dari ujung ke ujung membuat Nindya langsung menghabiskan sepertiga isinya. Untungnya, awan masih menutupi matahari sore sehingga cuaca tidak terlalu panas.“Kau tidak mau berbelanja sesuatu?” tanya Bima.Nindya menggeleng. “Tidak. Kita sudah beli oleh-oleh untuk Bi Ijah.” Ada tusukan kecil yang mengenai hati Nindya. Jika saja keadaannya seperti biasa, pasti dia akan mencari ole

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 38

    Halaman parkir Kencana floris dan Pramudita Galeri cukup ramai. Cuaca panas yang jarang di musim hujan membuat orang lebih bersemangat keluar rumah untuk mengurus urusan mereka atau hadir di kelas melukis.Laras berkonsentrasi di depan kanvasnya. Sesekali ia berkeliling melihat hasil coretan para muridnya. Kelas melukis tidak seperti kelas pelajaran mutlak. Tak ada salah dan benar, yang ada adalah hasil buah pikiran dan imajinasi yang disalurkan melalui kuas.Ada sembilan orang yang hadir di kelasnya siang ini. Hanya dua yang absen. Masing-masing memiliki gaya coretannya sendiri-sendiri. Tak jarang, Laras merasa kagum dengan bakat yang dimiliki muridnya, kadang dia berdiri cukup lama untuk melihat satu dua lukisan yang sedang mereka kerjakan.Tapi siang ini, konsentrasi mengajarnya agak terbagi. Pikirannya ikut terbang bersama Bima di Yogyakarta. Apakah Bima akan melupakan Nico jika Nindya hamil?Meski tak ada sumbangsih Bima pada Nico hingga saat

  • Benteng Terakhir Pernikahan   Chapter 37

    Udara di Kaliurang, Yogyakarta, cukup menusuk tulang bagi Bima dan Nindya yang sehari-hari berkutat dengan panas dan padatnya Ibu Kota. Keduanya duduk di teras penginapan, sebuah resort yang menghadap langsung ke gagahnya Gunung Merapi. Uap kopi panas mengepul lalu masuk ke rongga hidung, mengusir kantuk yang masih sesekali menyelinap.“Kau benar,” kata Bima. Matanya memandang lurus ke arah puncak Merapi yang samar-samar tertutup kabut tipis. “Ada bagusnya kita kembali ke Yogyakarta. Mengingat saat-saat bulan madu kita dulu.”Pandangannya beralih pada Nindya yang duduk di depannya, mengenakan sweater tebal berwarna krem. “Dulu aku bahkan belum mampu menyewa resort seperti ini. Kita hanya menginap di hotel kecil, melihat orang lalu lalang dari jendela.”Nindya tersenyum tipis. Ingatan itu masih jelas. Kala itu perusahaan Bima baru saja berdiri, belum memiliki banyak user, belum stabil. Tabungan mereka habis untuk pesta pernikahan sederhana. Bahkan, untuk bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status