Semua Bab Cinta Pertama Mas Ali : Bab 51 - Bab 60

"Mas, udah belum? Calon istri saya mau melahirkan itu loh!" bentakku karena saking paniknya dan perawat lelaki di depanku itu malah terus bicara dengan perawat lain. Namun, rupanya pertanyaanku itu membuat mereka malah jadi mematung. "Kenapa, Mas? Kenapa malah menatap saya seperti itu?" tanyaku pada mereka. "Calon istrinya mau melahirkan?" Spontan dua perawat tadi bertanya. Aku menghela napas panjang seraya menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Pasti mereka mengira kalau aku ngapa-ngapain dulu dengan calon istriku. Sebelum kami menikah. Sial4n memang, nasib-nasib."Ceritanya panjang, Mas. Buruan bilang nomor kamarnya berapa dan di mana!" ucapku lagi setengah emosi. "Di kamar Matahari nomor 15, Pak. Makanya Pak, nikah dulu baru punya anak." Kalimat terakhir itu dia ucapkan lirih. Apa dia kira aku tidak dengar? Ingin sekali rasanya kuberi pelajaran pada mereka. Namun, sudah tidak ada waktu lagi sepertinya. Aku bergegas pergi ke ruangan yang mereka bilang tadi. Setelah sebel

Tepat empat bulan usia bayi itu sekarang, aku sudah cukup dekat dengan mereka semua. Ya, keluarga kedua Ayu. Dan kini, sekarang menjadi keluargaku juga. Pagi tadi, akad telah berlangsung. Antara aku dan Ayu, menikah untuk yang kedua kalinya. Dan kami berharap, hanya maut yang akan memisahkan. Lelah. Ya, memang lelah. Sejauh perjalanan kami, banyak hal yang dilewati. Banyak hikmah dan pelajaran yang kami ambil. Termasuk, sebuah sikap dari masing-masing kamu dalam menjalani biduk rumah tangga. Malam itu, aku duduk sendirian di atas ranjang menunggunya masuk ke kamar. Karena di bawah sana tadi masih ada saudaranya yang hendak pamitan, tapi ujungnya ngobrol lagi. Aku pun beralasan saja ingin ke kamar mandi, biar mereka sadar kalau kami sudah lelah. Ya ini memang sebenarnya rencanaku. Dibilang tidak menghargai tamu ya bagaimana? Memang aku lelah. Sepuluh jari bermain mengetuk-ngetuk kasur, sambil menghitung detik jam yang terus berbunyi. Ayu belum juga datang.Saat aku hendak berdiri, t

"Sayang, ada apa? Kenapa?" Aku terus menanyakan hal itu pada Ayu. Sebab, dia tiba-tiba syok dan menangis. Tiba-tiba dia lemas dan hampir pingsan. Karena tak ingin merusak suasana, aku pun langsung menggendong Ayu dan membawanya keluar. Mungkin Syifa dan suaminya melihat, tapi aku tak ada waktu lagi. Kubawa Ayu masuk ke dalam mobil. Dia masih tampak mengatur napas. "Sayang, ada apa? Bilang sama aku. Tiba-tiba kamu gini. Apa kata Bik Darmi?" Aku ikut gugup dan panik. "Mas, Nisa sama Bella dibawa orang katanya. Uti di rumah pingsan. Bik Darmi nelpon tapi suara agak putus-putus tadi," ujar Ayu. Aku pun ikut syok dan tanpa panjang lebar lagi, kutekan pedal gas dan segera menuju rumah. Ada-ada saja masalah ini. Padahal kamu tidak punya musuh. Hidup juga baru bahagia sebentar, tapi ada saja masalah yang datang. Kenapa harus membawa Bella dan Nisa yang masih bayi kalau mereka hanya mengincar harta kami?Dengan keringat dingin, akhirnya kami sampai di rumah. Kulihat sudah ada banyak orang

"Door!" Satu tembakan melesat ke atas dan semua orang kaget semakin panik. Termasuk para polisi itu. Mereka bersiap siaga agar tak ada korban di sini. "Cepat, Mas! Buka tali ikatan Sindy!" kata Dinda lagi. "Tapi di mana anakku dulu! Kamu sembunyikan di mana mereka? Kamu enggak kasihan sama mereka? Ayu tersiksa enggak bisa kasih anaknya ASI.""Bodo amat. Memangnya aku pikirin? Dia saja tidak peduli denganku yang dulu juga tersiksa karena tidak punya siapa-siapa. Dan hanya kamu saat itu yang kupunya." Tampaknya Dinda teringat masa-masa itu lagi. "Aku mohon, Din. Berikan anak-anak kami. Kembalikan mereka pada kami dan kamu bakal bebas setelah itu. Aku janji.""Siapa yang bisa percaya ucapanmu saat ini? Kamu itu sekarang pandai sekali berbohong. Kamu pendusta, Mas!" Dia mengusap air matanya. "Kalau begitu, nikahi aku! Aku akan beritahu di mana anakmu!' Masih dengan mengacungkan senjata api di tangan, Dinda berbicara. Dia menyeringai seperti semua ini sudah dia rencanakan. "Kamu gil4

"Kamu suka, enggak?" Saat aku masuk ke dalam mobil, aku langsung meraih sebuah kotak beludru warna biru. Langsung kusodorkan padanya. Dan melihat reaksi Ayu, aku langsung bisa menebak kalau dia pasti suka. "Apa ini, Mas?""Buka aja!" pintaku. "Cincin?" Aku mengangguk. "Berlian ini adalah tanda cintaku padamu. Ya, salah satunya. Ini aku beli saat masih tinggal di Swiss. Aku enggak bisa melupakan kamu. Berharap suatu saat bisa bersatu lagi dan kini, Allah benar-benar mengabulkan."Ayu tersenyum. "Beneran? Makasih, Mas.""Iya."Aku pun mengangguk seraya memakainya di jari manis Ayu. Memang pas sekali dengan ukuran jarinya. Aku mencium tangannya, lalu ....Sudah pasti semua tahu apa yang sedang kulakukan selanjutnya, hanya saja aku segera menyudahinya karena kami masih di area rumah sakit. goresan_pena93"Kamu tau enggak, Sayang?" tanyaku suatu malam saat kami sama-sama menatap rembulan dari balik jendela kaca. "Apa?" balas Ayu sambil meletakkan kepalanya pada dada bidangku, saat kam