Semua Bab Cinta Pertama Mas Ali : Bab 61 - Bab 70

Hujan rintik turun sore itu, menempel di kaca jendela kafe yang penuh cahaya hangat. Biantara berdiri di luar, dengan setangkai bunga mawar putih di tangannya. Seragam pilot masih melekat di tubuhnya, lengkap dengan jaket hitam yang basah di bagian bahu. Matanya menatap ke dalam, menembus kaca bening itu, dan seketika dadanya seakan diremas.Di dalam sana, Lia, gadis yang selama ini ia cintai, yang dijaganya dengan janji akan sehidup semati—sedang duduk bersama seorang pria. Tangan mereka bertaut, senyum Lia mengembang, senyum yang seharusnya hanya untuknya. Bahkan lebih menyakitkan, bibir Lia menyentuh punggung tangan pria itu dengan lembut. Seperti menegaskan bahwa Biantara hanya seorang penonton di cerita yang bukan lagi miliknya.Jantung Bian berdentum keras. Suara tawa Lia bercampur dengan riuh kafe, tapi bagi telinganya, semua menjadi sunyi kecuali pengkhianatan itu. Di saku jaketnya, kotak beludru hitam berisi cincin mengeras, seolah menghina dirinya sendiri.Tangannya yang ber

Pagi itu, jalanan Jakarta masih padat meski matahari belum naik tinggi. Biantara duduk di balik kemudi mobilnya dengan wajah serius. Di kursi depan, Aisyah duduk rapi dengan kerudung krem muda, tas kerja di pangkuannya. Aroma parfum lembut Aisyah memenuhi seisi mobil, sedikit meredakan ketegangan yang sejak tadi menyelimuti hati Biantara.“Makasih ya, udah mau nganterin,” kata Aisyah pelan, matanya menatap keluar jendela.Bian meliriknya sekilas. “Nggak masalah. Lagian aku juga lagi nggak ada jadwal terbang hari ini.”Jawaban singkat itu membuat suasana kembali hening. Aisyah menunduk, mengeratkan genggaman pada tali tasnya. Sejak insiden malam itu, ketika mereka terlibat dalam perjanjian tak terduga yang membuat hubungan mereka lebih dekat, hatinya masih sering berdebar tak menentu di dekat pria ini.Mobil melaju perlahan, melewati deretan toko dan kantor yang mulai ramai. Aisyah sesekali melirik wajah Biantara. Ia tampan dengan rahang tegas dan sorot mata yang tajam, namun ada sesua

Siang itu, terik matahari menyinari halaman depan gedung tempat Aisyah bekerja. Kantor itu tidak terlalu besar, namun cukup bergengsi. Aisyah baru saja turun dari angkot, menenteng tas kerja yang mulai usang tapi tetap ia rawat dengan baik. Senyum tipis terbit di wajahnya, mengingat semalam keluarga Bian begitu hangat menyambutnya.Namun, langkah kakinya terhenti ketika seorang wanita berpenampilan glamor berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu memakai kacamata hitam besar, gaun pas badan, dan tas branded yang jelas bukan sembarang. Begitu Aisyah mendekat, wanita itu menurunkan kacamatanya, menatap tajam.“Eh, jadi ini ya cewek kampung yang katanya mau nikahin Bian?” Ucapan wanita itu penuh sarkasme. "Cuman kerja di kantor kek gini? Enggak malu lu sama keluarga Bian? Ngaca dong!" Aisyah tersentak. “Mbak Lia?”Lia melipat tangan di dada, bibirnya menyungging senyum sinis. “Wih, pinter juga kamu. Masih inget aku. Aku Lia, mantan yang jauh lebih pantas buat Bian dibanding kamu. Tapi te

Langit sore Jakarta mulai merona jingga ketika Biantara menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan soto betawinya. Aisyah sudah sejak tadi merajuk, mengeluh lapar, dan merengek seperti anak kecil yang minta jajan.“Bang, kalau Abang terus cuekin aku, jangan salahin aku kalau aku pingsan di jalan,” ancam Aisyah sambil memegang perutnya.Bian menggeleng sambil menahan tawa. “Ya ampun, Sayang. Dari tadi kita baru keluar rumah satu jam, udah kayak nggak makan tiga hari aja.”"Dih, pake acara sayang-sayangan lagi." Aisyah mencebik. Bian hanya tertawa.“Emang rasanya gitu! Perutku kosong melompong. Lagian, Abang lupa ya? Katanya mau traktir aku kalau aku selesai kerja lembur semalam.”“Oh iya?” Bian pura-pura mikir. “Aku lupa, kayaknya bukan traktir, tapi ngajak makan bareng … terus bayar patungan.”Aisyah langsung melotot. “Patungan? Hah, Abang tega banget. Mana ada calon suami model gini coba? Baru juga mau nikah, udah ngajak patungan. Hadeuh!”Bian akh

Di ruang tamu, Aisyah langsung melempar tubuhnya ke sofa. Ia mengambil bantal, memeluknya erat-erat, lalu menyembunyikan wajahnya. Bian mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menarik bantal itu pelan. “Eh! Jangan diambil, Bang. Aku lagi malu,” protes Aisyah sambil menahan bantal. Bian tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih. “Malu kenapa? Karena wajahmu merah kayak tomat?” Aisyah makin menyembunyikan wajahnya. “Halah, Abang seneng banget godain aku.” “Aku bukan godain. Aku cuma … terharu.” Bian menarik napas dalam, suaranya lebih pelan. “Aisyah, kamu tahu nggak? Selama ini aku pikir aku cuma bakal hidup datar, kerja, tidur, kerja lagi. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna. Aku bisa ketawa lagi, bisa ngerasa dicintai lagi.” Aisyah perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum. “Bang … jangan bikin aku nangis. Aku kan nggak suka drama.” Bian mengusap pipinya lembut. “Ini bukan drama. Ini janji kecil aku. Aku janji, aku bakal selalu jag