“Maaf, saya tidak punya kuasa sedikit pun untuk memengaruhi keputusan Pak Santosa. Anda salah orang,” suara Naila terdengar bening, tapi dingin. Nada yang biasanya sopan kini berubah datar, kaku, seperti tirai es yang menutup rapat segala bentuk kompromi.Naila memalingkan tubuh, langkahnya terukur hendak menjauh.Namun sebelum sempat ia meninggalkan tempat itu, suara Ratu mengejarnya, tajam bagai belati.“Kalau begitu, saya harus minta maaf sebelumnya… Bu Jayantaka.”Dahi Naila berkerut. Belum sempat ia mencerna maksud kalimat itu, sesuatu menghantam tengkuknya. Nyeri singkat menyambar, lalu kegelapan menelan seluruh kesadarannya.***Di ruang restoran yang ramai, setengah jam sudah berlalu. Orang-orang bercengkerama, suara gelas beradu, denting piano dari sudut ruangan mengalun lembut. Namun di meja besar dekat jendela, suasana terasa lain: tegang, dingin, dan membeku.Galih duduk tegak, jari-jarinya m
Last Updated : 2025-09-16 Read more