All Chapters of Pernikahan Paksa Sang Mafia: Chapter 21 - Chapter 30

Alea tak menjawabnya. Ia mendekatkan badannya pada Damian dengan yakin, “Aku tahu aku tak cukup kuat,” guman Alea pelan. “Mungkin aja kau menganggapku sebagai beban dalam hidup kau. Tapi, sejak kapan kau tahu aku tak bisa belajar dari masa lalu?”Damian mengepalkan jemarinya. Pandangannya terarah pada jendela, mencoba menyembunyikan sesuatu yang janggal di dalam dadanya, suara Alea terdengar begitu menusuk hatinya.“Jika aku berada di sisimu,” lanjut Alea dengan tenang. “Biarkan aku mengetahui siapa musuh-musuhmu, bahaya-bahaya yang mengintai dari mereka yang membencimu, dan siapa yang berpura-pura setia kepadamu. Aku ingin tahu, Damian ... kenapa mereka memburuku untuk mengambil nyawaku, apakah keberadaanku begitu penting bagi mereka?”Damian memejamkan matanya sejenak, lidahnya kelu, tak ada satu katapun yang mampu ia ucapkan. Ia menghembuskan nafasnya panjang, mencoba menurunkan emosi yang kian menggerogoti jiwanya. Ia tak ingin Alea telibat lebih jauh dan semakin membahayakan nyawa

“Kenapa kau membawaku ke tempat ini?” suara Alea terdengar lebih hati-hati.Damian mengernyitkan dahinya, ia menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Alea.“Em ... maksudku kenapa bukan dibawa ke tempat lain yang lebih aman?”jelasnya sedikit panik. “Atau di bawah orang-orang yang kau percayai? Kenapa justru mansion ini yang merupakan tempat tinggal pribadimu,” lanjutnya lagi.“Karena kau istriku,” jawab Damian dingin.Alea melongo ketikan mendengar jawaban Damian, “Tetapi kau bisa memiliki pasangan lebih jika kau mau,” jawab Alea sekenanya.Damian terdiam cukup lama, “Aku ingin memastikan kau tetap hidup,” jawabnya dingin.Alea menoleh, “Apa ... ini ada huubungannya dengan masa lalu keluargaku?” ujarnya sedikit ragu.“Tidak semuanya,” jawab Damian ambigu. “Tapi, sebagian, iya,” lanjutnya lagi.Jawaban itu membuat Ale

Matahari sudah condong ke barat dan menciptakan goretan tinta jingga dan semburat cahaya keemasan yang menembus kaca-kaca besar di mansion. Damian berdiri di balik jendela kamar dengan memegang secangkir kopi yang sudah tak lagi mengepul. Senja sudah mengudara, tetapi Alea tak juga menampakkan dirinya, ia masih tetap berada di kamarnya sejak pagi.Damian menyipitkan matanya sejenak, lalu berlalu menuju dapur tempat Rosa biasanya sibuk menjelang makan malam.“Rosa,” panggil Damian tenang, tetapi ada nada ketegasan di dalamnya.Rosa yang tengah sibuk mengatur naman kecil sontar berbalik, “Iya, Tuan?”“Alea ... sudah makan?”Rosa menggeleng pelan, “Tadi, saat saya mengantar makan siang untuk Nona, ia masih tertidur, Tuan. Saya tak tega untuk membangunkannya. Tetapi saya juga belum memeriksa apakah Nona sudah menyantap makan siang atau belum,” lirihnya menundukkan kepala.“Cek sekarang,&rdquo

Damian kembali mengangguk, “Setiap orang memiliki luka. Dan dia tengah membawa terlalu banyak luka di usianya yang masih muda,” guman Damian pelan seraya menatap lekat tubuh Alea.Dokter Clara menghentikan aktivitasnya, “Mungkin ia butuh seseorang yang benar-benar hadir untuknya ... bukan hanya sebagai pelindung,” ujarnya menatap Damian dan Rosa bergantian. Sementara Daman hanya menatapnya dalam sebagai sebuah jawaban.Tiga jam berlalu dengan begitu cepat, tak ada tanda-tanda yang positif dari tubuh Alea. Dokter Clara masih berada di kamar dan sesekali mengecek suhu badan Alea. “Dia tak merespons obat yang saya berikan,” guman Dokter Clara setelah memeriksa ulang tekanan darah dan saturasi oksigen milik Alea. “Detak jantungnya sedikit lebih cepat. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit sekarang juga.”Damian tidak menjawabnya. Ia menatap tubuh Alea yang semakin terlihat rapuh dan begitu menyesakkan baginya.

Damian menyusuri lorong rumah sakit untuk menuju basement rumah sakit dengan langkah siaga. Namun, di lorong terakhir, suara langkah kaki yang tergesa-gesa memecah kesunyian.“Tuan Damian!” suara itu membuatnya menoleh dengan cepat.Elisse.Gadis itu berlari menghampirinya dengan wajah panik dan napas yang tak beraturan, seolah ia baru saja mengetahui sesuatu yang sanga penting bagi tuannya.“Kau datang lebih cepat dari perkiranku,” ujar Damian menatap Elisse yang kini berdiri tak jauh darinya.Elisse tak menjawabnya. Ia langsung meraih pergelangan tangan Damian dan menariknya ke sisi lorong yang lebih sepi dan gelap. Napas lelahnya tak lagi menjadi penghalang.“Tuan, dengar saya baik-baik,” ujarnya dengan dada naik turun. “Anda tidak boleh meninggalkan Nona Alea. Mereka menjebakmu.”Damian mengerutkan keningnya, “Apa maksudmu?”Elisse menunjuk lorong yang jauh di bela