All Chapters of Pernikahan Paksa Sang Mafia: Chapter 31 - Chapter 40

Suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Rosa menahan napasnya lalu menurunkan jarum rajutnya dengan perlahan. Begitu juga dengan Elisse yang kini tubuhnya menegang dibalik selimutnya. Tak lama kemudian, pintu terbuka dengan perlahan. Seorang pria berseragam medis mendorong troli logistik dan melangkah masuk dengan yakin. Wajahnya tertutup masker dan topi medis, tetapi sorot matanya menyapu seluruh ruangan dengan cepat, seakan tengah mengamati sesuatu.“Permisi, saya dari petugas farmasi ingin mengantarkan obat tambahan untuk pasien di ruang rawat ini,” ucap pria berhenti di samping Rosa.Rosa berdiri dari tempat duduknya dan menatap obat itu sekilas, “Maaf ... tapi sudah ada obat yang diberikan oleh dokter secara langsung,” kilah Rosa.Pria itu menatap Elisse sejenak, “Ada pembaruan resep dari dokter jaga,” ujarnya singkat.Rosa menatap ragu, “Ah ... apakah ada surat pengantarnya?”   &

“Berapa lama lagi kita akan sampai di titik aman?”“Tiga puluh detik.”Damian menarik napasnya dalam. Ia tak bisa menoleh ke belakang. Tidak untuk sekarang. “Elisse ... Rosa ... bertahanlah sedikit lagi.”Mobil melaju kencang menembus gerbang di kompleks Damian yang terbuka dengan otomatis, menyambut mereka menuju ke mansion. Damian menggenggam tangan Alea singkat, memastikan jika ia tak akan meninggalkan gadisnya itu. Setelah mobil sampai di depan pintu utama mansion, ia segera menurunkan brankar dengan cepat dan menuju ke kamar pribadinya yag berada di lantai satu. Ia memindahkan Alea dengan begitu hati-hati dan memastikan infusnya tetap aman.“Carden!” panggilnya begitu ia sampai di ruang kontrol keamanan.Carden mengangguk dengan mata yang menatap banyak monitor di hadapannya. “Patricia sudah mengirimkan orangnya. Kita harus bergerak lebih cepat.”Damian menunjuk salah satu moni

“Saya tidak akan bertanggung jawab dengan apapun yang akan terjadi.”Damian tersenyum samar, “Tak akan. Kau tenang saja,” ujarnya seperti sebuah janji.Clara menutup layar komunikasi dengan Damian, dadanya naik turun secara perlahan, udara di ruangan seakan menghimpitnya dari berbagai arah. Bayangan ketika ia melakukan sumpah profesi beberapa tahun silam kembali terngiang di kepalanya, tetapi, tatapan Rosa dan permintaan Damian menghantam tepat di hati nuraninya.Jari jemarinya mulai bergerak di atas keyboard, menyusun satu demi satu rangkaian alasan untuk memindahkan pasien dengan alasan medis yang logis. Ia menatapnya sekali lagi, lalu bergegas menuju ruangan direktur medis. Tetapi sebelum sampai, ia sempat berhenti sejenak di sebuah cermin kecil dan melihat bayangan tubuhnya di sana.“Kalau aku harus melakukan langkah ini demi menyelamatkan nyawa seseorang, maka biarlah sumpahku yang menguatkanku ... bukan membelengguku,” ujarnya kembali melangkah dengan lambat.Dokter Clara menari

Patricia berdiri kaku di ruangannya begitu layar monitor di depannya menampilkan peta digital di rumah sakit. Matanya menyala merah, layaknya bara api yang membara. Bibirnya mengatup hingga rahangnya mengeras, namun sedetik kemudian, senyum samar muncul perlahan di wajahnya, senyum seseorang yang tengah mendambakan sebuah kehancuran.“Ulangi!” ujarnya kepada sang asisten canggung yang tengah berdiri di depannya dengan menelan ludahnya gugup.“S-salah satu ambulans baru saja keluar dari jalur protokol pasien umum, Nona,” jawab wanita itu tergagap. “Mobil itu disinyalir membawa seorang pasien dari lantai VVIP dengan disertai surat rujukan resmi yang langsung ditandatangani oleh direktur medis, Dokter Leadion,” jelasnya menunduk.Patricia membalikan badannya, gaunnya bergeser pelan saat ia melangkah menuju meja kecil yang menyimpan sebotol wine mahal di atasnya, lalu menuangkan ke dalam gelas kristal. “Rujukan?” ujarnya setelah menyesap minuman mahal itu.“Y-ya, Nona,” lanjutnya. “Dengan

Sistem asap otomatis mulai bekerja dan menyebar ke seluruh sisi jendela dan membuat kaca yang semula berwarna bening itu menjadi hitam legam, membuat penglihatan dari luar nyaris mustahil dilakukan. Asap itu menggantung pekat, seperti kabut kematian yang sedang menyerap dengan perlahan.“Kurangi kecepatan!” seru Carden, ia kembali menembakkakn pistol miliknya setelah memperlebar jarak dengan mobil musuh yang kini berada di depannya, lalu kembali membuka jendela kecil dan membidik peluru ke arah depan.DOR! Suara tembakan presisi tepat ke ban belakang membuat keseimbangan oleng tanpa bisa dicegah. Suara gesekan logam dengan aspal menggema keras di sepanjang jalan yang membuat bulu kuduk kembali meremang.DOR! DOR!Peluru berikutnya kembali menyasar ke bagian belakang mobil, kali ini menembus kaca belakang dan roda sebelah kiri yang membuatnya oleng dan berhenti mendadak. Lalu, Carden menurunkan kacanya sejenak dan melemparkan sebuah granat ke arah mobil itu lalu mobil berlalu menjauhi