Suamiku Bukan Abang Ojol Biasa のすべてのチャプター: チャプター 31 - チャプター 40

Sore yang hangat menjelang malam, suasana di kantor mulai lengang. Para karyawan keluar satu per satu, membawa lelah setelah seharian bekerja. Aku dan Alin melangkah menuju pintu keluar bersama. Hari ini tanggal gajian, momen yang selalu dinanti setiap bulan. Dengan amplop gaji di tangan, aku merasa bahagia. Rencanaku sudah jelas: mentraktir Putra, suamiku, makan malam spesial karena hari ini ulang tahunnya."Aku pulang duluan ya, Jingga. Selamat merayakan ulang tahun suamimu," ujar Alin sambil tersenyum. Tadi aku memang sempat bercerita tentang rencana ini.Aku mengangguk sambil balas tersenyum. "Iya, Lin. Maaf ya, khusus gajian kali ini aku nggak bisa ikut makan-makan sama kamu. Mungkin lain kali.""Enggak apa-apa, aku mengerti. Hati-hati ya," jawab Alin sebelum masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Aku menunggu Putra di trotoar depan kantor, sambil tersenyum kecil. Dalam hati, aku tak sabar ingin berbagi kabar bahagia ini dengannya—kenaikan jabatan yang kudapatkan hari ini. Jabata

"Mbak cukup melayani saya saja di rnjang. Malam ini saya ingin meminta hak saya sebagai suami," jawab Putra saat kutanya apa yang harus aku berikan sebagai ucapan terima kasihku atas kehadirannya di hidupku. Deg!Jantungku mendadak berdetak dengan keras mendengar ucapannya. Sebab ucapan itu mengarah ke arah hubungan yang lebih intim lagi. "Anggap juga sebagai hadiah ulang tahun saya dari Mbak," lanjut Putra saat aku terdiam sebelum aku bereaksi. Aku tertegun mendengar ucapannya. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Kata-katanya barusan membuat suasana menjadi jauh berbeda dari sebelumnya. Aku mencoba meresapi maksudnya, sekaligus memahami apa yang kurasakan saat ituAku langsung merasakan panas di pipiku. Aku yakin saat ini pipiku merona. Malu sendiri dengan percakapan yang menurutku intim ini. "Putra..." Panggilku, pelan. Kembali mengangkat wajahku yang tadi tertunduk. Lalu menatap matanya, mencoba mencari keseriusan di sana.Namun, ia hanya tersenyum lembut, seolah meny

Pagi ini, aku sedang berdiri di depan lemari, memilih baju kerja dengan rasa kantuk yang belum sepenuhnya hilang. Tubuhku terasa sedikit aneh, ada sensasi yang sulit dijelaskan. Jalanku pun agak kaku. Semalam adalah malam pertama kami sebagai suami istri, dan ternyata tidak cukup sekali Putra melakukannya. Hingga efeknya masih terasa hingga pagi ini."Mbak. Kenapa tubuh Mbak mema-bukkan? Hingga saya tidak puas kalau hanya menyentuh Mbak sekali." Begitu alasan Putra semalam saat aku ingin menolak. Sebagai istri yang baik, akupun membiarkan saja dia kembali menyentuhku sampai sepertiga malam, dia baru selesai karena kelelahan. Putra, yang sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memandangku, akhirnya buka suara. “Mbak yakin mau kerja hari ini?” tanyanya dengan nada lembut tapi serius.Aku menoleh, melihat sorot matanya yang penuh kekhawatiran. “Iya, aku harus kerja. Kenapa memangnya?” jawabku tegas, menoleh kepadanya sebentar. “Tapi jalan Mbak aneh begitu. Mbak nggak risih? Apa nggak

POV AuthorSejak tadi Angela melangkah mondar-mandir di ruangannya dengan wajah merah padam. Tangannya mengepal, dan napasnya terdengar berat. Dia baru saja tiba di ruangannya setelah pulang dari ruangan Jingga.Tadinya Angela berniat memeriksa apakah Jingga masih di kantornya. Jika iya, ia ingin mengolok-olok wanita yang dianggap musuhnya itu atas pemecatan yang sebenarnya tidak terjadi. Ironisnya, Jingga tak pernah salah padanya. Angela-lah yang merebut Niko, tunangan Jingga. Tapi begitu bencinya wanita itu kepada Jingga. Awalnya, Angela tak tahu Niko sudah bertunangan. Namun, alih-alih merasa bersalah saat mengetahuinya, dan mengakhiri hubungan, ia justru mempertahankan Niko dan membenci Jingga. Baginya, Jingga tak sepadan untuk bersaing memperebutkan pria itu.Kebencian Angela semakin memuncak manakala dia dipindahtugaskan di kantor yang sama dengan Jingga. Ia tak ingin berbagi atap di perusahaan yang sama, hingga berusaha menyingkirkan Jingga. Namun, rencana liciknya berbalik. J

Usai makan siang, Jingga pamit. Ingin kembali ke kantor."Jingga. Saya tidak bisa mengantar kamu ke kantor Papa. Saya ada janji lagi bertemu orang lain. Kamu bisa pulang sendiri kan?" Ujar Adrian, meminta maaf. "Tidak apa-apa, Pak. Tidak usah merepotkan. Saya bisa pulang sendiri," jawab Jingga, berdiri sambil mengangguk hormat. "Hati-hati di jalan, Jingga. Selamat bertemu beberapa hari ke depannya."Jingga kembali mengangguk. Tak lupa senyuman menghiasi wajahnya. "Saya permisi dulu Pak. Selamat siang," pamit Jingga. Kemudian mulai melangkah menuju pintu keluar restoran, setelah sebelumnya mendapat anggukan dari Adrian. Di lain tempat Angela yang sejak tadi memperhatikan, buru-buru mengambil masker dari dalam tas. Memakainya agar tidak diketahui keberadaannya oleh Jingga yang kebetulan akan melewatinya. Jingga terus berjalan. Dia tidak memperhatikan sekeliling. Sehingga tidak mengetahui keberadaan Angela. Sampai akhirnya dia tiba di pintu keluar. Jingga langsung keluar dan ingin me