Semua Bab SABDA: Putra Sang Jenderal: Bab 61 - Bab 70

Pagi-pagi sekali di sebuah asrama militer. Matahari belum mengintip dari ufuk timur, namun burung-burung mulai berkicau mengiringi kokok ayam yang entah berkumandang dari mana. Di saat kebanyakan orang masih menggeliat di kasur, kehidupan pagi sudah berlangsung di asrama yang menampung ratusan prajurit dan keluarganya itu.Seorang prajurit berdiri tegak di posnya dalam posisi siaga. Sebentar lagi akan ada pergantian giliran jaga. Dia bisa beristirahat, kembali ke baraknya.Lima belas menit sebelum pajurit muda itu bisa beristirahat, ia disentakkan oleh kedatangan dua orang pria berseragam yang tidak ia kenal. Namun, pangkat yang tersemat di pundak kedua pria itu, membuat sang prajurit jaga mau tak mau memberi hormat dengan sikap sempurna.Sayangnya, sikap hormat yang ditunjukkan oleh prajurit itu tak mendapat tanggapan yang setara. Tanpa basa-basi, salah seorang pria yang memiliki ekspresi dingin, mengucapkan perintah tak tertolak.[“Bawa kami ke ru

Masa kini.Sakti menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia mengembuskan napas kuat-kuat, lalu merebahkan kepalanya di sandaran sofa.“Lelah sekali,” gumamnya sambil memejamkan mata.Di kota ini, terdapat cukup banyak fasilitas militer dan kepolisian yang harus Sakti ‘tangani’ dengan bantuan orang-orang yang dikirim oleh pengguna SABDA misterius. Hingga siang hari, ia sudah ‘menguasai’ seluruh fasilitas tersebut untuk mengendalikan orang-orangnya.Di setiap fasilitas yang dikunjunginya, entah kantor mau pun asrama, tempat pertama yang Sakti datangi adalah ruang kendali atau ruang komunikasi. Melalui pengeras suara, Sakti memerintahkan agar para tentara mau pun polisi yang berada di sana untuk tunduk padanya dan membantunya mengejar dan menangkap Widya dan Rimba yang masih bersembunyi di suatu tempat.Sakti sendiri sebenarnya tak percaya jika Widya dan Rimba bisa selihai itu dalam bersembunyi. Pasti ada yang membantu mere

Rimba dan Widya tidak bisa terus bersembunyi. Mereka harus terus bergerak, berusaha menembus perbatasan kota untuk melarikan diri.Di perbatasan sana, polisi dan tentara yang diperintah oleh Sakti, telah menjaga dengan ketat. Setiap kendaraan yang hendak lewat, diperiksa dengan saksama.Di perairan, penjagaan yang sama juga diterapkan. Kapal-kapal yang tengah berlabuh, digeledah untuk memburu Rimba yang dituduh telah membunuh dua orang dan menyandera seorang polisi.Mau kabur lewat udara? Lebih tidak mungkin. Pengamanan di bandara juga diperketat. Bukan pula masalah tiket, melainkan masalah penjagaan oleh militer yang siap melumpuhkan Rimba begitu melihatnya bersama Widya.“Kamu terkenal sekarang,” kata Widya sambil menyimak berita di ponsel Rimba.Widya tersentak saat menyadari bahwa ia menggunakan kata ‘kamu’ alih-alih ‘kau’ saat mengacu pada Rimba. Agak memalukan karena hubungan mereka tidak begitu dekat. Mesk

“Widya,” kata Rimba sambil menepuk lembut bahu Widya. Dengan sabar ia menunggu Widya membuka mata karena sudah waktunya turun dari kapal yang mereka tumpangi.Malam menjelang saat Rimba dan Widya tiba di pulau kecil yang menjadi tujuan mereka. Nelayan yang membantu mereka juga memberikan bantuan berupa makanan dan air yang harus cukup sampai bantuan dari Daud tiba. Sebab, nelayan tersebut juga harus bersembunyi dari kemungkinan penyisiran oleh pasukan yang dikendalikan oleh Sakti, sehingga ia tidak bisa lagi menengok keadaan Rimba dan Widya di persembunyian mereka.Setelah berjalan kaki cukup lama menyusuri lahan yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa, Rimba dan Widya tiba di sebuah gubuk kayu. Di depan gubuk itu, terdapat tumpukan batok kelapa yang telah mengering. Sebuah parang yang pangkalnya ditancapkan ke tanah, tampak mencuat dengan bilahnya yang tajam. Tampaknya, gubuk itu adalah bekas tempat pembuatan kopra.“Aku di luar,” kata Rimba s

Dihajar dengan popor senapan umumnya akan menyebabkan seseorang akan langsung tak sadarkan diri. Bahkan koma jika tak langsung ditangani.Namun, Rimba bukan orang biasa. Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kekar, sekalipun dipukuli dengan popor senapan, ia tidak tumbang. Saat dilempar ke dalam sel, ia masih sadar meskipun harus menahan sakit di sekujur tubuhnya.Pasukan suruhan Sakti juga tidak melepaskan borgol di tangan Rimba, sehingga Rimba tidak leluasa bergerak. Sekalipun Rimba sebenarnya bisa melepaskan diri dari belenggunya, ia memilih pasrah. Sebab, ada kamera yang mengawasi gerak-geriknya.Rimba tidak tahu Widya dibawa ke mana. Sebab, mereka dibawa menggunakan mobil yang berbeda. Sakti tentu saja akan memanfaatkan kesempatan bisa bersama dengan Widya lagi, setelah sekian lama tidak bertemu.Gigi Rimba bergemeretak saat mengingat bahwa Widya bisa saja saat ini tengah bersama Sakti dan ….Bayangan buruk berkelebatan di benak Rimba.