Setelah kejadian itu, Ibu akhirnya tenang. Di sore hari, ketika langit mulai berubah warna, Ibu pamit pulang. Tapi, sebelum benar-benar pergi, dia menatapku dengan sorot mata serius—yang biasanya hanya muncul kalau dia mau kasih wejangan pamungkas.“Ren, Ibu tahu kamu trauma. Tapi, jangan tutup hati terus-terusan, ya? Yang dulu emang nyakitin, tapi masa depan kamu belum tentu sama.”Aku menelan ludah. “Aku tahu, Bu. Aku cuma belum siap.”Ibu tersenyum, lalu mengelus pipiku. “Gak usah buru-buru. Tapi, kalau dia baik, jangan ditolak cuma karena kamu takut.”Aku mengangguk kecil, lalu memeluknya. Untuk sesaat, dunia terasa tenang.Sampai suara Pras kembali pecah dari balik pintu, “Eh, Bu! Kalau ketemu Gasan, bilangin dia kirimin croissant-nya dua box, dong! Yang satunya kurang!”Aku melempar sandal. "Murahan banget sih lo jadi orang!" teriakku."Tau. Bikin malu aja, deh. Makanya kerja sono!" Ibu mencibir anak bontotnya, lalu melihat ke arahku. "Ibu balik, yah. Kamu ati-ati di sini! Janga
Last Updated : 2025-07-01 Read more