Semua Bab Selir Chun! Kaisar Hanya Menginginkanmu!: Bab 141 - Bab 150

Kepala Chun Mei terangkat perlahan, jemarinya yang sedari tadi menyentuh bibir cawan teh ikut terhenti. Tatapannya lurus, menembus ke dalam diri Chu Qiao. Bukan sekadar sorot seorang nyonya terhadap pelayannya, melainkan tatapan tajam yang menyimpan rahasia, nyaris seperti penguasa yang sedang menguji bawahannya. Meski wajahnya tetap tenang, tanpa senyum, tanpa guratan marah, justru ketenangan itulah yang membuat bulu kuduk berdiri. “Apa kamu benar-benar ingin mengetahuinya?” suara Chun Mei datar, tak meninggi, tapi bergetar dalam telinga Chu Qiao seperti gema tajam di ruang hening. Sejenak, waktu seolah berhenti. Chu Qiao merasakan tenggorokannya kering. Sorot mata yang biasa dia gunakan untuk mengintai bahaya kini meredup. Tubuh yang terbiasa lincah dalam pertempuran, mendadak kaku. Dia hanya mampu menunduk, kedua tangannya meremas ujung bajunya, menahan gejolak aneh di dadanya. Keheningan itu panjang. Hanya terdengar suara api kecil dari tungku pemanas ruangan, menyisakan

Di ruang terpisah jauh di belakang Paviliun Angin Senja, hawa dingin begitu menusuk hingga merambat ke tulang. Ruangan itu suram, penerangan hanya dari sebuah lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip-kedip, seakan ikut gentar menyaksikan apa yang ada di balik jeruji. Ruangan itu pengap, bau besi karat bercampur lembap tanah menyesakkan dada. Mu Fei melangkah pelan mendekati jeruji, langkahnya terhenti kala tatapannya jatuh pada tubuh mungil yang meringkuk di sudut gelap. Sejenak dia membeku. Anak itu terlalu kurus, kulitnya kusam bagai daun kering, matanya cekung tak lagi menampakkan hidup. Tatapan kosongnya menusuk, seperti lubang hitam yang menelan cahaya. Tak ada gerakan, hanya napas pendek yang memburu, lebih mirip sisa-sisa insting untuk bertahan. Mu Fei mendapati pergelangan tangannya. Luka-luka itu berlapis, lama dan baru, seperti tanda dari ikatan kasar yang terus-menerus dilakukan. Beberapa membiru, beberapa merah, ada pula yang telah menghitam bagai luka lama yang

“Dari mana?” Suara itu terdengar begitu dekat, tenang dan menusuk. Tubuh Chu Qiao seketika menegang. Wanita itu refleks berbalik, matanya membesar kaget. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, dia menghela napas panjang, tanpa berusaha menyembunyikan keterkejutannya. “Nyonya mengejutkanku,” ujarnya, dengan nada yang sengaja dibuat ringan. Chun Mei bergeming, sosoknya tetap berdiri anggun, wajahnya tak menampilkan ekspresi apa pun. Namun, tatapannya yang jeli menangkap sesuatu, itu seujung kain hitam terjepit di bawah kaki lemari. Chu Qiao cepat bergeser setengah langkah, seakan hanya meraih meja di sampingnya, padahal jelas dia sedang menutupi kain itu dari pandangan. Dengan gerakan alami, dia mengangkat dua batu gesek dari atas meja kecil, lalu menunjukkannya sambil tersenyum tipis. “Aku mencari ini, Nyonya. Rupanya terselip di bawah tumpukan kayu bakar.” Chun Mei menunduk sekilas, seolah memerhatikan benda sederhana itu. Kemudian kembali mengangkat pandanga

Pagi itu, aroma bawang tumis bercampur dengan wangi kaldu ikan memenuhi dapur kecil pondok. Chu Qiao sibuk mengaduk panci tanah liat di atas tungku, wajahnya tampak biasa saja, meski sesekali dia berhenti untuk menengok jendela seakan ingin memastikan sesuatu.Di sisi lain pondok, di ruang kuil kecil yang sederhana, Chun Mei duduk bersimpuh di atas alas empuk.Sebuah tasbih besar tergantung di tangannya, manik-manik kayu berkilau gelap digesek pelan satu per satu. Bibirnya bergerak, komat-kamit membaca doa dengan suara nyaris tak terdengar. Matanya tertutup rapat, wajahnya begitu tenang, nyaris tak menyisakan emosi apa pun.Hening.Dari sela rumpun bambu yang menjulang di belakang kuil, bayangan gelap meluncur turun dengan gesit.Seseorang berpakaian hitam pekat, cadar menutupi wajahnya, mendarat tanpa suara di tanah. Gerakannya ringan seperti angin.Dalam sekejap, sosok itu sudah bergerak ke arah Chun Mei. Pedang tipis berkilat di tangannya, terangkat tinggi, siap menghunus punggung

Chun Mei berdiri di teras kayu, tubuhnya tegak tapi wajahnya teduh. Dari posisinya, terbentang undakan anak tangga setinggi satu setengah meter, menghubungkan teras dengan halaman batu yang seolah jadi batas antara dirinya dan dunia luar. Di halaman itu, Liu Ning sudah berlutut. Lutut kecilnya menekan keras lantai batu, tubuh mungilnya sedikit gemetar, darah kering di keningnya kontras dengan wajah pucat. Tangannya mengepal di atas paha, tapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Di belakang gadis itu berdiri Chu Qiao. Wajahnya datar, tanpa ekspresi berarti. Tubuhnya tegap, kedua tangan terlipat di balik punggung. Sorot matanya menusuk, tapi tidak ada kata-kata yang dia keluarkan. Hanya diam, membiarkan suasana menekan. Chun Mei menatap dari atas teras. Tatapannya dingin, sulit terbaca, seolah menimbang jauh ke dalam diri gadis kecil itu. Lutut Liu Ning gemetar, tubuhnya semakin merunduk di atas lantai batu yang dingin. Suaranya pecah, lirih tapi jelas terngiang di halaman sunyi itu